Sabtu, 30 Mei 2009

resensi buku, tugas siyasah

Bagian pertama ini adalah resensi buku berjudul “Menuju Khilafah Islamiyah Perjuangan Ikhwanul Muslimin” yang ditulis oleh bapak Ahmad Yani Anshori dan diterbitkan oleh Siyasat Press Yogyakarta, dengan tebal 127 halaman.

Ikhwanul Muslimin (IM) adalah gerakan islam yang didirikan oleh Hassan al-Banna. Hassan al-Banna hidup di zaman yang penuh dengan pergolakan di satu sisi dan serangan budaya Barat di sisi lain. Beliau lahir di tengah pergolakan itu dan menyaksikan segalanya secara langsung. Karenanya dapat dikatakan, gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipimpin oleh al-Banna lahir untuk memberikan solusi bagi problema yang dihadapi umat Islam khususnya di Mesir. Kelahiran Ikhwanul Muslimin sekaligus menunjukkan kebobrokan para penguasa di negeri-negeri muslim dan di dunia Arab. Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi tahun 1927, Hassan al-Banna mengajar di salah satu sekolah dasar di kota Ismailiyah, Mesir. Sekitar satu tahun berikutnya, al-Banna bersama orang-orang dekatnya memulai pergerakan Islam. Merekalah kelak yang di kemudian hari akan membentuk Jam’iyyah Ikhwanul Muslimin. Pada bulan Dzul Qa’dah tahun 1347 H/ Maret 1928, enam sahabat dekat al-Banna yang terkesan dengan materi pengajaran dan ceramahnya, mendatangi cendekiawan muslim muda itu untuk mengadakan pembicaraan khusus. Mereka adalah Hafidz Abdul Hamid, Ahmad Husari, Fouad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki Maghribi. Mereka mendatangi al-Banna untuk membentuk kelompok pergerakan Islam bernama Jam’iyah Ikhawanul Muslimin. Jam’iyah Ikhawanul Muslimin terbentuk tahun 1928. Pemikiran Hassan al-Banna yang tertuang dalam pidato dan tulisan-tulisannya disebarluaskan melalui koran Ikhwanul Muslimin. Materi-materi tersebut kemudian disatukan dalam buku berjudul Majmu’atur Risalah yang berhasil menarik perhatian kalangan politik dan agamis. Kehadiran Jam’iyyah Ikhwanul Muslimin disambut hangat oleh masyarakat Mesir pada umumnya.

Faktor Keberhasilan Gerakan Ikhwanul Muslimin:

Di antara faktor yang mendukung kelanggengan gerakan perjuangan Ikhwanul Muslimin adalah:

1- Koordinasi kuat dan sistem organisasi rapi yang dimiliki oleh Ikhwanul Muslimin.

2- Pengenalan yang luas dan mendunia akan kelompok ini.

3- Keserasian slogan kelompok ini dan cita-cita islaminya dengan perbuatan dan akhlaq para anggota Ikhwanul Muslimin.

Misi perjuangannya yang islami, membuat Ikhwanul Muslimin cepat diminati oleh umat Islam dan melahirkan cabang di mana-mana. Di Suriah, Sudan, Jordania, Lebanon, Palestina, Indonesia, Pakistan, Tunis, Aljazair, Maroko, Libya, Irak dan negara-negara Arab dan muslim lainnya, kelompok Ikhwanul Muslimin hadir secara nyata. Tak hanya itu, umat Islam di negara-negara Barat juga condong kepada gerakan Ikhwanul Muslimin dan menjalin hubungan dengannya.

Hassan al-Banna banyak terpengaruh oleh pemikiran Hasafiyah, dan setelah kepindahannya ke Kairo, beliau bergabung dengan kelompok Jam’iyyat Makarim Akhlaq Islami. Kelompok ini mengilhaminya untuk melakukan gerakan pembenahan dalam kepemimpinan muslimin, sehingga diharapkan umat akan bersatu dan gerakan keislaman akan langgeng. Al-Banna juga banyak terpengaruh oleh pemikiran gurunya, Syekh Mohammad Rashid Ridha, yang disebut-sebut sebagai perintis gerakan sunnah nabawi dan meyakini aqidah salaf saleh. Al-Banna meyakini bahwa seluruh partai dan kelompok politik di Mesir harus dibubarkan, dan seluruh potensi umat dileburkan dalam satu kesatuan. Dengan cara ini kebebasan dan kemerdekaan umat akan terwujud. Meski demikian, bukan berarti al-Banna menolak rekonstruksi sosial Islam dengan cara-cara gaya Barat. Hanya saja yang ia perjuangkan adalah ide pemikiran untuk melakukan pembaharuan masyarakat muslim sesuai dengan ajaran agama. Pada tahun 1932, kepengurusan Ikhwanul Muslimin dipindahkan ke kota Kairo. Kelompok pergerakan ini menyelenggarakan berbagai pertemuan dan kongres. Setelah Kongres ketiga yang diadakan tahun 1935, lahirlah kelompok gerakan politik dan militer yang bernama Jawwalah. Seiring dengan naiknya Raja Farouq ke kursi kekuasan, Ikhwanul Muslimin menggelar kongres keempat. Kongres ini menghasilkan deklarasi yang berisi dukungan kepada Raja Farouq. Setelah kongres kelima, misi kerja Ikhwanul Muslimin secara umum adalah pembebasan negeri muslim dari kekuasaan orang-orang asing dan pembentukan pemerintahan merdeka yang islami. Tahun 1941 Ikhwanul Muslimin menggelar kongres keenam. Kongres itu memutuskan untuk ikut serta dalam pemilihan umum legislatif di Mesir. Tahun 1948, Raja Farouq mengeluarkan instruksi kepada Perdana Menteri Naqrashi Pasha untuk membubarkan Ikhwanul Muslimin. Sebagian besar pengurusnya ditangkap dan harta inventaris kelompok pergerakan ini dirampas. Tak hanya itu, rezim Mesir melancarkan propaganda besar-besaran untuk mendiskreditkan Ikhwanul Muslimin. Pada tanggal 28 Desember tahun 1948, PM Naqrashi tewas di tangan salah seorang aktivis Ikhwan. Tak lama setelah itu, Hassan al-Banna dibunuh. Benturan keras dengan Pemerintah Mesir membawa dampak perpecahan pada Ikhwanul Muslimin : ada yang ingin “berdamai” dengan penguasa, seperti Hasan Hudhaibi namun ada faksi yang terus memilih konfrontasi dengan penguasa melalui tokohnya Sayyid Quthb yang mengarang buku Ma’âlim Fi al-Tharîq (Rambu-rambu Jalan) yang isinya mengafirkan penerapan hukum dan sistem modern serta menyebutkan sebagai jahiliyah abad 20. Quthb yang baru bergabung dengan IM tahun 50-an membawa pengaruh luar biasa terhadap ideologi IM. Sejak saat itu, proses radikalisasi IM yang sebelumnya melalui Hasan Al-Banna agak ‘moderat’, namun karena pengalaman pribadi Sayyid Quthb yang buruk: dipenjara, disiksa, hingga dihukum gantung, maka ide-ide yang lahir dari Quthb sangat ekstrim. Ide-ide Qutb sangat berpengaruh pada faksi konfrontatif yang lahir dari perpecahan IM menjadi kelompok-kelompok seperti Tandzimul Jihad, Jamaah Takfir wal Hijrah, dan Jamaah Islamiyah. Lebih jauh lagi, kelompok-kelompok ini juga melakukan perlawanan dengan bersenjata, terlibat pembunuhan dan percobaan kudeta berdarah. Mulai dari pembunuhan terhadap Menteri Wakaf Mesir Muhammad Husein Al-Dzahabi—karena dianggap loyal pada pemerintahan yang kafir—hingga puncaknya pada pembunuhan Presiden Mesir Anwar Sadat tahun 80-an. Sejak saat itu, anggota-anggota kelompok ini banyak yang dieksekusi, atau dijebloskan ke penjara, dan yang selamat dari kejaran pemerintah Mesir, mereka melarikan diri ke Afghanistan yang pada waktu itu sedang terlibat perang melawan Uni Soviet. Di negeri ini, orang-orang yang disebut sebagai “Arab-Afghan” tokohnya seperti Ayman Dlawahiri (mantan anggota Tandzimul Jihad Mesir) dan Osama Bin Laden, bertemu dengan generasi “Melayu-Afghan” dan “Indo-Afghan” generasi pertama kelompok Jamaah Islamiyah di Malaysia dan Indonesia yang juga pergi ke Afghanistan untuk melawan Uni Soviet seperti Azhari, Noordin M Top, Hambali, Imam Samudra, Amrozi, dll


Bagian kedua ini adalah resensi buku berjudul “Tafsir Negara Islam Dalam dialog Kebangsaan di Indonesia” yang ditulis oleh bapak Ahmad Yani Anshori dan diterbitkan oleh Siyasat Press Yogyakarta, dengan tebal 208 halaman.

Pada tanggal 16 Oktober 1905 berdirilah Sarekat Islam, yang bergerak secara nasional dan beranggotakan berbagai kalangan rakyat. Inilah mestinya tonggak kebangkitan Indonesia. Namun, yang kini disebut-sebut sebagai tonggak kebangkitan Indonesia justru Budi Utomo yang berdiri 1908, padahal semestinya adalah Sarekat Islam. Sebab, Budi Utomo digerakkan oleh orang didikan Belanda dan bergerak hanya di Jawa, Madura, dan Bali. KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah tahun 1912 dengan melakukan gerakan sosial dan pendidikan dengan basis Islam. Kemudian Taman Siswa, dengan basis sekular, didirikan Ki Hajar Dewantara pada tahun 1922. Sejatinya, KH Ahmad Dahlanlah bapak pendidikan bukan, Ki Hajar Dewantara seperti saat sekarang. Pertarungan terus berlanjut hingga menjelang kemerdekaan. Terjadilah perdebatan sengit antara pejuang Islam yang menghendaki negara Islam dan kalangan sekular yang menolak penyatuan agama dengan negara. Ringkas cerita, yang terjadi adalah kompromi dengan lahirnya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menyebutkan bahwa negara dibentuk berdasar pada, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Diproklamasikanlah Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ternyata, usianya hanya 1 hari. Sebab, pada 18 Agustus 1945 tujuh kata ’dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam Piagam Jakarta dicoret oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kejadian yang menyolok mata ini dirasakan umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang diliputi kabut rahasia. Pada masa Soekarno, Islam dipinggirkan. Bahkan Indonesia hendak diarahkan pada Nasakom (nasionalisme, agama dan komunisme). Isu syariah Islam dibungkam. Partai Masyumi yang gigih menyuarakan Islam dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno pada akhir tahun 1960 melalui Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960. Di benak orang Masyumi kala itu Soekarno adalah diktator bagi umat Islam. Dalam bukunya berjudul Sarinah, Soekarno menyatakan kekagumannya kepada Musta Kamal yang menerapkan sekularisme di Turki. Rezim berganti. Pada masa Soeharto, dibuatlah CSIS (Center for Strategic and International Studies) sebagai lembaga kajian dalam merumuskan dan memback-up konsep-konsep pembangunan Orde Baru dengan berbagai rekayasanya. Islam disebut ekstrem kanan. Partai-partai Islam berfusi, karena tekanan penguasa, ke dalam Partai Persatuan Pembangunan. Pancasila dijadikan satu-satunya ideologi bagi semua kekuatan politik dan UUD 1945 menjadi landasan operasionalnya dengan tafsiran ala Orde Baru. Menurut pentolan Orde Baru, Ali Moertopo, Siapapun yang tegas-tegas menyuarakan Islam dituduh melawan Pancasila, subversif dan musuh negara. Sekularisme terus menggempur Islam.

Bagian ketiga ini adalah resensi buku berjudul “Untuk Negara Islam Indonesia Perjuangan Darul Islam dan al-Jama’ah al-Islamiyah” yang ditulis oleh bapak Ahmad Yani Anshori dan diterbitkan oleh Siyasat Press Yogyakarta, dengan tebal 125 halaman.

Pengalaman Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir yang pecah menjadi dua faksi: yang “pragmatis” dan “konfrontatif” terulang di Indonesia. Melalui kelompok yang didirikan oleh Kartosuwiryo DI/TII yang gagal melakukan konfrontasi bersenjata. Kegagalan ini membelah tubuh DI/TII, ada faksi yang mulai “pragmatis” memilih perlawanan tak langsung, dengan membangun gerakan-gerakan dakwah di kampus-kampus, yang dikenal sebagai kelompok-kelompok Usroh dan lembaga dakwah kampus (LDK). Pengakaderannya mengambil model IM di Mesir, dan memopulerkan buku-buku Hasan al-Banna dan Yusuf al-Qaradlawi (tokoh IM yang ‘pragmatis’). Karena tokoh-tokoh IM Mesir mendapat simpati dan bantuan penuh dari Dinasti Saudi (mereka dirangkul karena menjadi musuh rezim nasionalis Arab yang sekuler : musuh utama Dinasti Saudi juga). Maka, gerakan-gerakan dakwah kampus di Indonesia pun mendapat dukungan dana dari DDII. Pada Reformasi 1998 kelompok ini mendaklariskan satu partai: Partai Keadilan dan sekarang menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sementara faksi lain yang memilih jalur “konfrontasi radikal” dari DI/TII, mengambil pola pengkaderan Jamaah Islamiyah Mesir dengan memopulerkan buku-buku Sayyid Qutb dan Abdus Salam Faraj al-Farîdah al-Ghâ’ibah (Kewajiban yang Hilang) buku yang mematok perang sebagai jihad. Faksi ini pun bermetaformosis menjadi Jamaah Islamiyah di Indonesia yang didirkan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir (menurut pengakuan Nasir Abbas), hingga berdirinya MMI. Terakhir, Abu Bakar Ba’asyir ditendang dari MMI (dituding mirip syiah, ahmadiyah dan komunis) dan mendirikan kelompok Asharut Tawhid. DI/NII diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (12 Sjawal 1368) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Gerakan ini bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk memproduk undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50. Sejalan dengan hal itu, pada 1948 Pemerintah RI menandatangani Perjanjian Renville yang mengharuskan pengikut RI mengosongkan wilayah Jawa Barat dan pindah ke Jawa Tengah. Hal ini dianggap Kartosuwirjo sebagai bentuk pengkhianatan Pemerintah RI terhadap perjuangan rakyat Jawa Barat. Bersama kurang lebih 2000 pengikutnya yang terdiri atas laskar Hizbullah dan Sabilillah, Kartosuwirjo menolak hijrah dan mulai merintis usaha mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Proklamasi NII sendiri baru dilaksanakan pada 7 Agustus 1949. Pemerintah RI berusaha menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai. Pemerintah membentuk sebuah komite yang dipimpin oleh Natsir (Ketua Masyumi). Namun, komite ini tidak berhasil merangkul kembali Kartosuwirjo ke pangkuan RI. Oleh karena itu, pada 27 Agustus 1949, pemerintah secara resmi melakukan operasi penumpasan gerombolan DI/TII yang disebut dengan Operasi Baratayudha. Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh. Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia. Kelompok-kelompok Islam gaya baru inilah yang saat ini menyita banyak perhatian kita. Tentu saja saya tidak ingin mengeneralisir kekhasan dan perbedaan yang ada dalam tiap-tiap aliran pada kelompok Islam itu. Saya tidak ingin terjebak menyebut mereka dengan berbagai istilah misalnya istilah fundamentalisme Islam, radikalisme Islam, Islamisme, Islam Politik, Islam Puritan, Islam Salafi dll hingga Teorisme atas nama Islam. Di samping istilah-istilah tadi mengandung sejumlah kontradiksi, satu istilah tidak bisa menyebutkan secara tepat ideologi dan gerakan mereka karena kompleksitas kelompok-kelompok tersebut. Namun saya ingin menarik garis-garis persamaan yang bisa kita jumpai dalam kelompok-kelompok tersebut. Pertama, kelompok Islam gaya baru itu lahir dari ketegangan, perebutan kekuasaan, hingga konflik yang ada di Timur Tengah. Kita akan menjumpai geneologi, akar-akar, dan sebab-musabab munculnya kelompok-kelompok itu di beberapa kelompok di Timur Tengah. Selain itu, represi yang pernah ada di Indonesia sejak rejim Orde Lama hingga Orde Baru ikut menjadi pemicu lahirnya kelompok-kelompok itu sebagai bentuk perlawanan bawah tanah. Dan baru di era Reformasi ini mereka bisa bebas dan leluasa muncul. Kedua, kelompok-kelompok itu memiliki ciri khas: tertutup, merasa benar sendiri, gemar mengafirkan, tidak mengakui keanekaragaman, dan menuntut penyeragaman. Dan yang lebih gawat lagi mereka menganjurkan hingga melakukan tindakan kekerasan. Fanatisme dan mudah mengafirkan menurut Syekh Najih Ibrahim seorang tokoh JI di Mesir yang telah “bertaubat” disebut sebagai “terorisme pemikiran” yang lebih berbahaya dari “terorisme fisik” (innal irhâb al-fikrî asyaddu takhwîfan wa tahdîdan minal irhâb al-hissî). Ketiga, karena kelompok-kelompok ini baru hadir di Indonesia, maka sekali lagi, mereka mengalami keterputusan sejarah dari ormas-ormas Islam yang pernah melahirkan Republik ini. Akhirnya kelompok-kelompok ini melakukan konfrontasi baik secara “ekstrim”, melakukan tindakan terorisme dan kekacauan, upaya kudeta berdarah, mengharamkan demokrasi dan ideologi bangsa, atau yang bersikap lebih “akomodatif”: menerima prosedur demokrasi seperti Pemilu, namun kalau mereka menang, akan mengubah dasar dan bentuk negeri ini. Ujung-ujung dari kelompok ini adalah perebutan kekuasaan, karena itulah mereka tidak pernah peduli terhadap khidmah pada masyarakat, berbeda dari ormas-ormas Islam lama yang membangun pusat-pusat pendidikan (pesantren, sekolah, universitas) layanan-layanan sosial dan ekonomi.