Senin, 01 Juni 2009

proposal penelitian

NIKAH BEDA AGAMA DAN IMPLIKASINYA 
OLEH : LEHCHAN@YMAIL.COM

A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Perkawinan bukan saja merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lain dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Dalam membentuk suatu keluarga tentunya memerlukan suatu komitmen yang kuat diantara pasangan tersebut. Sehingga di dalam Al-Qur,an dijelaskan bahwa janganlah menikahi perempuan atau laki-laki yang berbeda agama (selain islam) kecuali ahli kitab begitupun dalam Undang-undang menyatakan bahwa suatu perkawinan dapat dinyatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melakukan pernikahan.
Tetapi di dalam aplikasinya perkawinan beda agama ini terdapat banyak perbedaan pendapat seperti dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan, ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 jo pasal 8 f. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.
Begitupun dalam memahami pada pasal 1 Peraturan Perkawinan campuran menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Akibat kurang jelasnya perumusan pasal tersebut, yaitu tunduk pada hukum yang berlainan, ada beberapa penafsiran dikalangan ahli hukum.
Pendapat Pertama, menyatakan bahwa perkawinan campuran hanya terjadi antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang berlainan karena berbeda golongan penduduknya. Pendapat Kedua, menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan agamanya. Pendapat ketiga, bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang berlainan asal daerahnya.
Sehingga kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak bisa dipungkiri dan akan terus terjadi sebagai akibat interaksi sosial diantara seluruh warga negara Indonesia yang pluralis agamanya.
Implikasinya apabila keluarga berbeda agama tersebut mempunyai keturunan maka sudah pasti ada dampak yang akan dialami oleh keturunan atau anak tersebut baik itu bersifat positif ataupun sebaliknya.
Pertumbuhan anak dari berbagai aspek sangat dipengaruhi oleh lingkungannya, pergaulannya dan yang paling penting adalah peran orang tua. Dalam kehidupan sehari-hari anak lebih cenderung bersama orang tuanya sehingga pada proses awal pertumbuhan anak lebih banyak meniru tingkah laku orang tua baik dari segi tingkah laku sosialnya maupun ritual keagamaannya.
Tetapi yang menjadi masalah apabila orang tua sang anak tersebut disatu sisi mengamalkan ritualnya masing-masing maka akan membawa pengaruh yang sangat luar biasa bagi psikologis anak tersebut apakah ia akan mengikuti sang ayah atau ibunya yang notabene sudah menjadi orang yang ditirunya sejak dari kecil.
Sejatinya, penelitian ini tidak hendak memasuki perdebatan teologis, apakah pernikahan beda agama diperbolehkan ataukah tidak, melainkan sekadar menyajikan catatan psikologis problem yang muncul dari pasangan suami-istri yang berbeda agama yang kemudian berimbas kepada anak-anak mereka.

B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk menjelaskan tentang pernikahan beda agama pada masyarakat di kota Manado sulawesi utara yang berimbas kepada anak dari hasil pernikahan tersebut yang pastinya mempengaruhi pertumbuhan dan psikologi anak tersebut
Berdasarkan paparan latar belakang dan batasan masalah tersebut, maka penelitian ini dimaksudkan untuk merumuskan :
a. Apa dampak dan akibat terhadap psikologi anak dalam keluarga pasangan beda agama?
b. Bagaimana proses pendidikan agama pada anak dalam keluarga pasangan beda agama?
c. Bagaimana cara yang dilakukan orang tua dalam menetapkan agama sang anak apakah ada unsur campur tangan atau kehendak sang anak sendiri dalam memilih agamanya?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Mengacu pada rumusan penelitian di atas, penelitia ini bertujuan untuk menggambarkan tentang pola pengasuhan anak baik dari segi hubungan sosial terlebih ritual keagamaannya pada keluarga pernikahan beda agama yang implikasinya dapat mempengaruhi jiwa sang anak tersebut yang tentunya melatarbelakangi munculnya dampak-dampak baik positif maupun negatif terhadap pertumbuhannya. Juga untuk mengetahui secara mendalam bagaimana cara orangtua yang pada dasarnya berbeda dalam prinsip agama dapat membimbing sang anak tersebut menuju kepuasan batin dari dasar agama orang tua yang berbeda. Dan mengetahui dasar spritual agama yang dianut sang anak tersebut apakah itu merupakan pilihannya atau ada unsur paksaan dari kedua orangtuanya yang berbeda keyakinan baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan informasi ilmiah juga pengembangan bagi kajian sosial keagamaan dan diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam kajian-kajian ilmiah khususnya sosial keagamaan selanjutnya.

D. Telaah Pustaka
Setelah diadakan penelusuran ternyata banyak penelitian dan karya ilmiah yang membahas tentang masalah perkawinan beda agama tetapi sepengetahuan penulis belum ada yang membahas secara terperinci dan mendetail tentang akibat dan dampak dari perkawinan beda agama ini terhadap psikologi anak dari hasil pernikahan pasangan yang berbeda agama ini.
Seperti penelitian saudara M. Murtadho yang berjudul ”Pendidikan Agama Pada Pasangan Anak Beda Agama”dalam penelitiannya menyebutkan bahwa Ada tiga variasi interaksi keagamaan pasangan beda agama, yaitu Pertama, pasangan suami istri kurang kuat dalam beragama (agama KTP); Kedua, pasangan di mana salah satu pasangan adalah lebih kuat (aktif) dalam beragama; ketiga, pasangan yang sama-sama kuat dalam beragama.
a. Pasangan Sama-Sama Tidak Kuat Dalam Beragama (‘Agama KTP’)
Dalam hal keberagamaan dan mendidik anak, pasangan semacam ini dapat diperkirakan tidak terlalu ideologis. Bahkan membuka kemungkinan masuk dalam kelompok ini orang yang menganggap agama itu sesuatu yang bisa dipakai atau tidak, bias disesuaikan untuk kepentingan administratif pemerintah seperti dalam pengurusan KTP dan sebagainya. Dalam masalah pengurusan pernikahan, bagi mereka yang kebetulan non muslim menikah di KUA pun tak masalah, yaitu mereka berpura-pura masuk Islam, maka semuanya beres. Kelompok ini mungkin bisa disebut agama KTP. Keluarga semacam ini dalam masalah agama dapat diduga cenderung longgar. Demikian juga sikap mereka dalam pendidikan agama terhadap anak. Kalau kemudian ada anggoata anak yang lebih taat dalam memeluk suatu agama tertentu, itu lebih karena banyak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar. Kalau di wilayah dia kebanyakan masyarakat beragama Islam, maka dia juga cenderung memeluk agama Islam. Demikian juga sebaliknya kalau dia hidup di wilayah Kristen atau Katholik maka dia punya kecenderungan besar untuk ikut agama yang dominan di wilayah tersebut.
b. Salah Satu Pasangan Lebih Kuat Dalam Beragama
Pasangan beda agama dalam jenis ini adalah di mana salah satu suami atau istri lebih kuat (aktif) dan ingin berperan dalam membawa agama anak sesuai dengan agamanya. Sikap ini bisa ditunjukkan dengan sikap lebih aktif dan dominan dalam beragama pada salah seorang pasangan, bisa suami bisa juga istri. Sementara pasangannya yang lain tidak terlalu memusingkan atau kalau boleh dibilang tidak berdaya dengan dominasi yang dibentuk oleh suami/istrinya. Dalam keadaan demikian, karena dominasi agama salah satu pasangan, maka yang terjadi kemudian adalah suasana rumah cenderung mengarah pada agama tersebut, dan kadang terkesan seakan-akan di sana tidak terjadi pernikahan beda agama, saking dominannya ekspresi keberagamaan pihak yang dominant. Demikian juga dalam pendidikan anak, semua anak cenderung diarahkan pada agama yang dominant tersebut.
Pengetahuan koginitif anak terhadap ajaran agama lain cenderung rendah. Karena dominannya peran salah satu orang tua yang dominan yang tidak memberi kesempatan bagi anaknya mengenal lebih dalam agama lain, maka anak tidak sempat berkenalan dengan agama lain. Kasus ini nampak dalam responden 2 (sebuah keluarga di jogjakarta) di mana bapak dominan dalam mengarahkan agama keluarga. Istri yang beragama Katholik tidak diberi kesempatan mengembangkan agamamya. Ketika istri waktu itu bersedia melaksamakam nikah melalui KUA, dianggap oleh suami bahwa istri sudah masuk Islam. Padahal belum sepenuhnya. Berangkat dari asumsi itu, suami sangat keberatan dan berusaha sekuat tenaga untuk mengarahkan agama keluarga ke dalam Islam. Pernah si Istri bermaksud ingin kembali aktif ke agamanya semula, dan ingin aktif dalam pelayanan gereja. Si suami buru-buru menemui pimpinan gereja dan menyatakan bahwa dia keberatan istrinya akan aktif dalam gereja. Dan sejak itu istri tidak lagi aktif menjalankan ibadah menurut agamanya semula, dan juga tidak aktif memahami Islam. Dalam pendidikan anak, si ayah membuat ketentuan bahwa dalam keluarga hanya diperbolehkan mengajarkan agama Islam untuk anak. Anak tidak diberi kesempatan untuk mengenal agama si Ibu. Karenanya otomatis semua anak terarah mengikluti agama si ayah, yaitu Islam.
c. Pasangan Yang Sama-Sama Kuat Beragama
Pada pasangan beda agama yang kedua sama-sama kuat beragama terdapat permasalahn lebih kompleks. Ada beberapa variasi yang menentukan keberagamaan keluarga mereka. Berdasarkan kajian ini, secara umum ada dua model yang menentukan keberagamaan mereka. Pertama, model pasangan yang ketika akan menikah mempunyai kesepakatan tertentu mengenai kehidupan keluarga nantinya, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan agama, termasuk dalam mengarahkan agama anak. Model ini kita sebut saja model pernikahan beda agama dengan “perjanjian, “dalam kajian ini terdapat 2 kasus; Kedua, Satu lagi model yang lain, yaitu model yang belum ada kesepakatan tertentu mengenai keberagamaan agama dan agama anak nantinya nantinya. Kita sebut saja model ini dengan pernikahan beda agama “non-perjanjian, “dalam kajian ini terdapat 7 kasus.
Kesepakatan atau perjanjian dalam perkawinan beda agama dalam kehidupan keagamaan dapat berbentuk berbagai macam, misalnya tidak memasang symbol atau gambar nuansa agama di dalam rumah, tidak membuat kegiatan keagamaan di rumah, dan bias juga tentang agama anak nantinya. Khusus mengenai agama anak, dari hasil penelitian ini dan penelitian lain, kesepakatan itu dapat berupa: pertama, agama anak nantinya mengikuti salah satu agama orang tua; kedua, agama anak dibagi-bagi dalam agama kedua orang tua; ketiga, agama anak nantinya diberi kebebasan.
Juga pada skipsi berjudul “ konsep ahl al-kitab dan perkawinan antar agama (studi kasus atas pemikiran muhammad arkoun dan implikasinya terhadap perkawinan antar agama di indonesia)” yang disusun oleh sholahuddin. Dalam skipsi ini hanya membahas tentang konsep yang ditawarkan oleh arkoun tentang ahl al-kitab yang kemudian mencari relevansi terhadap perkembangan hukum di Indonesia terutama tentang perkawinan beda agama.
Begitupun skipsi karya Bashoruddin” pernikahan beda agama dalam pemikiran muslim (study komparasi antara mahmud syaltut dan quraish sihab ). Skripsi mencoba mengkomparasikan antara pendapat kedua tokoh ini yang sebenarnya tidak banyak perbedaan dalam hukum perkawinan beda agama hanya saja berbeda dalam jenis ijtihad.



E. Kerangka Teoritik
Pernikahan merupakan sesuatu yang pastinya diinginkan oleh seluruh umat manusia yang normal baik itu dari etnis budaya yang berbeda maupun dari segi aspek keagamaan yang berbeda sehingga sudah menjadi sunnatullah manusia menikah.
Semua agama sangat menganjurkan pernikahan, salah satu agama yang sangat menganjurkan pernikahan yaitu islam. Islam sebagai agama yang membolehkan perkawinan beda agama dalam hal ini dengan ahl al-kitab sebagai bukti bahwa islam adalah bukan hanya agama yang menguntungkan terhadap orang-orang yang menganut agama islam itu sendiri tetapi juga terhadap pemluk agama lain bahkan lebih dari pada itu, sebagaimana firman Allah
وما ارسلناك الا رحمة للعالمين
Akan tetapi dalam ayat ini tidak mengartikan bahwa pernikahan beda agama merupakan pernikahan yang dianjurkan karena pada hakikatnya islam tidak menganjurkan pada pemeluknya untuk nikah dengan etnis agama yang berbeda untuk mencegah akibat-akibat yang tidak diinginkan.
Salah satu akibatnya adalah pada perkembangan dan pertumbuhan anak pada keluarga pernikahan beda agama, sehingga akan mempengaruhi dari segi psikologisnya terlebih lagi dasar kepercayaan keagamaannya. Dalam menerapkan kerangka teori peneliti lebih cenderung menggunakan teori relativisme maksudnya adalah dalam melihat fakta tersebut peneliti lebih cenderung melihatnya bukan dari satu sudut aspek saja tetapi melihatnya dari berbagai aspek.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu jenis pendekatan penelitian yang tidak melibatkan perhitungan atau diistilahkan dengan penelitian ilmiah yang menekankan pada karakter alamiah sumber data dan pada prosedur penelitiannya menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati
Metode kualitatif digunakan berdasarkan pertimbangan apabila terdapat realitas ganda lebih memudahkan penelitian dan dengan metode ini penajaman pengaruh dan pola nilai lebih peka disesuaikannya. Sehingga objek penelitian dapat dinilai secara empirik melalui pemahaman intelektual dan argumentasi logis untuk memunculkan konsepsi yang realistis. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bekerja berdasarkan pada perhitungan prosentasi, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya.








DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya, Arkola
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet : 27, Bandung, Sinar Baru Algensindo, 1994
Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor Chuzaimah T Yanggo, DR,H & Hafiz Anshary, Drs,MA, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 1996

Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, Editor Chuzaimah T Yanggo, DR,H & Hafiz Anshary, Drs,MA, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 1996

M. Murtadho, “ Pendidikan Agama Pada Anak Pasangan Orang Tua Beda Agama,” Penelitian studi s3 antropologi, UI, Depok. Di download http://murtadhoui.wordpress.com/

Sholahuddin, “ konsep ahl al-kitab dan perkawinan antar agama (studi kasus atas pemikiran muhammad arkoun dan implikasinya terhadap perkawinan antar agama di indonesia),” Skripsi jurusan Al-Akhwal Asy-Syakhsiyyah, Fak. Syari’ah, Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 2003

Bashoruddin,” Pernikahan Beda Agama Dalam Pemikiran Muslim (study komparasi antara Mahmud Syaltut dan Quraish Sihab), skipsi jurusan perbandingan madzhab dan hukum, fak. Syariah, Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 2004




Tidak ada komentar:

Posting Komentar