Selasa, 02 Juni 2009

CLD KHI

CLD

Setelah dipelajari saksama, revisi terhadap KHI merupakan agenda yang mendesak diselenggarakan. Alasan pertama, KHI memiliki kelemahan pokok justru pada rumusan visi dan misinya. Beberapa pasal di dalamnya, misalnya riil berpunggungan dengan prinsip-prinsip dasar Islam seperti yang banyak diungkap secara literal oleh Al Quran, yaitu prinsip persamaan (al-musâwah), persaudaraan (al-ikhâ`), keadilan (al-`adl), kemaslahatan, penegakan HAM, pluralisme (al-ta’addudiyah), dan kesetaraan jender. Ditemukan sejumlah pasal di dalam KHI yang bias jender. Pasal-pasal ini harus dihapus agar marjinalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan tidak terlembagakan secara formal dalam regulasi perundangan. Kedua, KHI tidak paralel dengan produk perundang-undangan, baik hukum nasional maupun internasional yang telah diratifikasi. Dalam konteks Indonesia, KHI sebagai Inpres No 1/1991 telah berseberangan dengan produk hukum nasional seperti Undang-Undang (UU) No 7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No 39/1999 tentang HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap perempuan. Dalam konteks internasional, juga bertentangan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi, dan beberapa instrumen penegakan dan perlindungan HAM lain seperti Deklarasi Universal HAM (1948), Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966), dan lain-lain. Ketiga, dengan membaca pasal demi pasal di dalam KHI, tampak konstruksi hukum KHI belum dikerangkakan sepenuhnya dari sudut pandang masyarakat Islam Indonesia, tetapi lebih mencerminkan penyesuaian fikih Timur Tengah dan dunia Arab lain. KHI tidak betul-betul merepresentasikan kebutuhan dan keperluan umat Islam Indonesia, akibat tidak digali saksama dari kearifan lokal masyarakat Indonesia.

Bangunan metodologi

Sejumlah pemikir Islam menilai beberapa sisi ketidakrelevanan fikih klasik itu karena ia disusun dalam era, kultur, dan imajinasi sosial berbeda. Fikih klasik tersebut bukan saja tidak relevan dari sudut materialnya, melainkan juga bermasalah dari pangkal paradigmanya. Misalnya, per definisi fikih selalu dipahami sebagai “mengetahui hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil Al Quran dan Al Sunnah. Mengacu pada definisi tersebut, kebenaran fikih menjadi sangat normatif. Kebenaran fikih bukan dimatriks dari seberapa jauh ia memantulkan kemaslahatan bagi manusia, melainkan pada seberapa jauh ia benar dari aspek perujukannya pada aksara Al Quran dan Al Sunnah. Epistemologi semacam inilah yang menjadi utang model penghampiran literalistik. Untuk menghindari itu, CLD KHI bergerak dalam kerangka metodologi berikut. Pertama, mengungkap dan merevitalisasi kaidah ushul marjinal yang tidak terliput secara memadai dalam sejumlah kitab ushul fikih. Terus terang, banyak kaidah ushul fikih yang belum difungsikan secara optimal. Kedua, sekiranya usaha pertama tidak lagi memadai untuk menyelesaikan problem kemanusiaan, upaya selanjutnya adalah membongkar bangunan paradigma ushul fikih lama; [1] mengubah paradigma dari teosentrisme ke antroposentrisme, dari elitis ke populis; [2] bergerak dari eisegese ke exegese. Dengan exegese, para penafsir berusaha semaksimal mungkin untuk menempatkan teks agama sebagai “obyek” dan dirinya sebagai “subyek” dalam suatu dialektika yang seimbang. [3] Memfikihkan syariat atau merelatifkan syariat. Syariat harus diposisikan sebagai jalan (wasîlah) yang berguna bagi tercapainya prinsip-prinsip Islam (ghâyat) berupa keadilan, persamaan, kemaslahatan, penegakan HAM. [4] Kemaslahatan sebagai rujukan dari seluruh kerja penafsiran. [5] Mengubah gaya berpikir deduktif ke induktif (istiqrâ`iy). Dari fondasi paradigmatis ini kita dapat merencanakan beberapa kaidah ushul fikih alternatif. Pertama, kaidah al-ibrah bi al-maqashid la bi al alfadz. Kaidah ini berarti yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid dalam meng-istinbat-kan hukum dari Al Quran dan Al Sunnah bukan huruf dan aksara Al Quran dan Al Hadis melainkan maqashid (tujuan hukum) yang dikandung. Yang menjadi poros adalah cita-cita etik-moral sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Untuk mengetahui tujuan hukum ini, seseorang dituntut memahami konteks. Yang dimaksud bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama menemukan maqashid al-syari’ah (tujuan syariat). Kedua, kaidah jawaz naskh al-nushush bi al maslahah. Bahwa menganulir ketentuan ajaran dengan menggunakan logika kemaslahatan adalah diperbolehkan. Kaidah ini sengaja ditetapkan karena syariat (hukum) Islam memang bertujuan mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashalih), dan menolak segala bentuk ke-mafsadat-an (dar`u al-mafasid). Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, tokoh Islam bermazhab Hanbali, menyimpulkan, syariat Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan kemanusiaan universal yang lain yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan (al-hikmah). Prinsip ini harus menjadi dasar dan substansi seluruh persoalan hukum. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran para ahli fikih ketika memutuskan suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam. Ketiga, kaidah yajuzu tanqih al nuhush bi al-’aql al-mujtama’. Kaidah ini hendak menyatakan akal publik memiliki kewenangan menyulih bahkan mengamandemen sejumlah ketentuan legal-spesifik yang relatif dan tentatif sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, akal publik berotoritas mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasinya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat poligami, nikah beda agama, iddah, waris beda agama, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah kemanusiaan, yang terjadi bisa-bisa merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih ini. Dengan demikian, jelaslah CLD KHI tetap bertumpu pada ayat universal Al Quran berupa keadilan, kemaslahatan, pluralisme, HAM, dan kesetaraan jender. Akhirnya, semoga CLD KHI secara perlahan menjadi perangkat ketentuan hukum Islam yang senantiasa menjadi rujukan dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan, yang menjunjung nilai kemanusiaan, menghargai hak kaum perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.

Abd Moqsith Ghazali Anggota Tim Penyusun Counter Legal Draft KHI

08/03/2005 | Kliping |

Mengapa penulis setuju dengan CLD-KHI? Karena CLD-KHI justru sesuai dengan semangat Islam itu sendiri. CLD-KHI sesuai dengan prinsip persaudaraan (al-ikhâ), kesetaraan (al-musâwah) dan keadilan (al-’adâlah). CLD-KHI juga sesuai dengan HAM dan tidak bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM, juga produk hukum lain seperti UU Perlindungan Anak dan Perempuan. CLD-KHI juga demokratis, pluralis, inklusif, tidak patriarkhis, dan mengutamakan keadilan dan kesetaraan gender. Ini dapat kita lihat dari poin-poin yang mendudukkan hak dan kewajiban suami istri secara setara. Misalnya, adanya iddah dan nusyuz bagi pria, mahar yang saling diserahkan oleh kedua belah pihak, kebolehan perempuan menjadi saksi, bolehnya perempuan 21 tahun menikahkan dirinya sendiri, dihapusnya kewalian sebagai rukun nikah, dan dimasukkannya pencacatan sebagai rukun nikah, dll. Kesemua ini sangat sesuai dengan semangat Islam yang sebenarnya. Untuk itu jangan sampai kita terjebak oleh makna literal teks, seperti konsep qawwâmah dengan mengartikannya sebagai kepemimpinan (laki-laki) saja. Padahal, qawwâmah adalah konsep saling komitmen antara laki-laki dan perempuan untuk membangun rumah tangga berdasarkan konsensus pasutri, bukan kepemimpinan sebelah pihak saja (suami) yang kemudian berujung pada mistifikasi tujuan berumah tannga oleh sebab tidak adanya konsensus dan pembagian tugas yang jelas antara pasutri. Lalu, nusyûz yang dikenakan kepada pihak suami juga bertujuan untuk mengontrol suami; apakah dia melanggar komitmen atau tidak. Apakah suami yang menyiksa istrinya tidak dikatakan melanggar? Ketentuan iddah bagi suami juga berarti memberi kesempatan kepada suami untuk berpikir dan agar dapat mengontrol nafsu seksualnya. Mahar untuk kedua belah pihak berarti adanya keadilan. Bila mahar hanya diserahkan secara sepihak, seakan-akan ada kesan bahwa pihak yang satu membeli (alat kelamin) pihak lain. Lalu poin-poin lain seperti wanita yang dibolehkan menjadi saksi, bisa menikahkan dirinya sendiri, memiliki hak rujuk, mempunyai kewajiban mencari nafkah, dll, juga menunjukkan ketangguhan kaum perempuan itu sendiri dalam sektor yang lebih luas, tidak hanya pada sektor domestik. Apakah menjadi perempuan adalah sebuah kesalahan, padahal Allah menciptakan manusia dalam posisi kesetaraan. Bahkan, kita lahir dalam kesamaan dan kesetaraan. Pada hukum waris pun demikian. Siapa bilang bahwa laki-laki mempunyai beban lebih berat dari wanita? Aplagi anak laki-laki yang ditinggalkan oleh orang tuanya nakal, sedangkan anak perempuannya baik, adilkah bila perbandingan warisan yang akan mereka peroleh adalah 2 berbanding satu? Jika ada rumus adil + adil = adil, mengapa memilih rumus tidak adil + tidak adil = adil? Selain itu, soal perkawinan juga wajib dicatatkan untuk melindungi kedua belah pihak. Itulah poin-poin yang penulis perjuangkan! Hanya saja, penulis mohon lebih lanjut untuk mempertimbangakan poin pernikahan beda agama, poin dilarangnya poligami, serta dilegalkannya kawin kontrak. Bukankah saling mengusik agama dan ruang privat itu melanggar prinsip pluralisme? Apakah untuk menempuh tujuan pernikahan kita harus mengorbankan usaha ke jalan yang benar? Apakah keimanan dan ketauhidan harus dikorbankan? Lalu untuk poligami, bukankah itu mengurangi tingkat prostitusi. Bukankah itu juga menolong pasangan yang tak punya anak? Bukankah itu juga menolong orang yang kesulitan? Jika semua itu dijalankan dengan syarat yang jauh lebih ketat, mungkin poligami masih bisa dilakukan, meskipun dalam realitanya susah mencari pria yang adil dan wanita yang rela dimadu. Untuk masalah kawin kontrak, bukankah ini merugikan wanita serta menyuburkan semacam prostitusi terselubung? Demikianlah pendapat penulis tentang beberapa isu krusial di dalam CLD-KHI. Terakhir, hasil kerja keras Dr. Siti Musdah Mulia dkk ini harus dihargai. Bagaimanapun juga, inilah ijtihad yang cocok untuk situasi dan kondisi seperti sekarang. Janganlah menafsirkan Islam secara tekstual saja, karena itu berarti menjadikan Islam “barang usang”, dan tidak kreatif. Lagipula Islam selalu berhadapan dengan konteks, dan hukum selalu berubah sesuai refleksi keadaan sosial yang ada. Bahkan ketentuan yang secara legal dan eksplisit ada di dalam Alqur’an, tidak diniatkan (Allah) sebagai hukum yang abadi. Demikianlah kata Prof. Fazlur Rahman. Wallahu a’lam.

1 komentar: