Selasa, 02 Juni 2009

TEORI HUKUM ISLAM MODERN

HUKUM ISLAM KONTEMPORER

Perkembangan yang dinamis dan kreatif (pembaharuan) setidak-tidaknya didorong oleh empat factor utama:

pertama adalah dorongan keagamaan, karena Islam merupakan sumber norma dan nilai normatif yang mengatur seluruh aspek kehidupan kaum muslimin, maka kebutuhan untuk membumikan norma dan nilai tersebut ataupun mengintegrasikan kehidupan kaum muslim kedalamnya selalu muncul ke permukaan demikian juga Hukum Islam. Kedua, dengan meluasnya domain politik Islam pada masa khalifah Umar terjadi pergeseran-pergeseran sosial yang pada gilirannya menimbulkan sejumlah besar problem baru sehubungan dengan hukum islam, Faktor Ketiga adalah independensi para spesialis hokum islam itu dari kekuasaan politik. Kemandirian ini telah menyebabkan mereka mampu mengembangkan pemikiran hukumnya tanpa mendapat rintangan, selaras dengan pemahaman masing- masing. Faktor keempat adalah pleksibelitas hokum islam itu sendiri yang memampukannya untuk berkembang mengatasi ruang dan waktu.

A. Dilema Fleksibilitas Hukum Islam dan Pembaharuan Pemikiran

Disamping sarat akan muatan sosiologis tak dapat dipungkiri

bahwa fiqh (Hukum Islam) juga memiliki dimensi teologis dan inilah yang

membedakan fiqh dengan hokum dalam terminologi ilmu hukum modern, akan tetapi penempatan cara pandang yang keliru terhadap dimensi teologis yang dikandungnya bisa mengakibatkan anggapan bahwa fiqh merupakan aturan yang sakral, bahkan dalam keadaan tertentu orang akan merasa takut untuk melakukan revaluasi terhadap aturan-aturan fiqh yang ada, karena secara psikologis sudah terbebani oleh nilai-nilai kesakralan tersebut, untuk itu perlu kajian yang mampu mengantarkan pada cara pandang yang benar mengenai aspek teologis dalam fiqih ini.

Dalam paradigma usul fiqh klasik menurut Hasbi As-Shiddiqiey

terdapat lima prinsip yang memungkinkan Hukum Islam bisa

berkembang mengikuti masa: 1) Prinsip Ijma’; 2) Prinsip Qiyas; 3) Prinsip Maslahah Mursalah; 4) Prinsip memelihara Urf’; dan 5) berubahnya hokum dengan berubahnya masa. Kelima prinsip ini dengan jelas memperlihatkan betapa pleksibelnya hukum Islam.

Dengan Berlalunya waktu, perkembangan Hukum Islam yang

dinamis dan kreatif pada masa awal kemudian menjelma kedalam bentuk mazhab-mazhab atas inisiatif beberapa ahli hokum terkenal, tetapi dengan terjadinya kristalisasi mazhab-mazhab tersebut, hak untuk berijtihad mulai dibatasi dan pada gilirannya dinyatakan tertutup.

Semacam konsensus gradual yang memapankan dirinya yang kurang lebih bermakna bahwa mulai saat itu tidak seorangpun yang boleh mengklaim bahwa ia memiliki kualifikasi untuk melaksanakan ijtihad mutlak dan bahwa seluruh aktifitas dimasa mendatang tinggal

menyesuaikan. Jadi secara teoritis, Ijtihad memang tidak dinyatakan tertutup tetapi kualifikasinya yang ditempa sedemikian teknis serta dengan diidealkannya capaian-capaian masa lampau telah mengakibatkan ijtihad berada di luar jangkauan manusia

Menjawab tantangan modernitas” adalah sebuah jargon yang tersirat dan disepakati dibalik beraneka ragamnya produk pemikiran muslim pada umumnya dan dibidang hokum pada khususnya pada dasawarsa terakhir setelah kaum muslimin teperangkap dalam kejumudan dan taqlid yang cukup lama pasca imam-imam mazhab.

Pada abad ke-20, semakin banyak upaya pembaharuan pemikiran hokum Islam baik yang dilakukan oleh sarjana-sarjana muslim maupun oleh sarjana-sarjana orientalis.

B. Pergeseran Paradigmatik Metodologi Hukum Islam

Dari sekian banyak pola pemikiran Islam yang bercorak pembaharuan tentu juga berimplikasi pada aspek hokum islam baik secara metodologis maupun wacana. Oleh karena itu metode pembaharuan hokum islam bukanlah sebuah metode yang terlepas dari pembaharuan pemikiran hal ini perlu pelacakan yang cermat karena tidak semua tokoh mempunyai perhatian yang khusus terhadap hokum Islam. Hal ini terlebih lagi jika di tarik ke dalam wilayah hokum keluarga muslim khususnya, sehingga dibutuhkan upaya penyesuaian bahkan modifikasi terhadap teori-teori pemikiran yang ditawarkan para tokoh yang berkaitan dengan hokum Islam. Mensitir kerangka teorinya Wael B. Hallaq dalam sejarah perkembanagan metode fiqh (ushul fiqh) Amin Abdullah menguraikan paradigma metodik usul fiqh kedalam pradigma fiqh literalistik, utilitarianistik dan liberalistik-penomenologik.

Dinamakan paradigma literalistic karena dominannya pembahasan tentang teks. Ar-Risalah karya As-yafii dianggap buku rintisan pertama tentang usul fiqh, penulisannya bercorak teologis deduktif yang kemudian diikuti oleh para ahli ushul mazhab mutakallimun (Syafiiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Mu’tazilah). Setelah lebih kurang lima abad (dari abad ke-2H-7H) baru mengalami perbaikan dengan munculnya asy-Syatibi (w.1388 M) yang menambahkan teori maqasyid syari’ah yang mengacu pada maksud Allah yang paling mendasar sebagai pembuat hokum.

Enam abad kemudian sumbangan asy-Syatibi direvitalisasikan oleh para pembaharu usul fiqh di dunia modern, seperti Muhammad Abduh (w. 1905), Rasyid Ridho (w.1935), Abdul Wahab Khallaf (w.1956), Allal al-Fasi (w.1973) dan Hasan Turabi. Karena tidak menawarkan teori baru kecuali merevitalisasi prinsip maslahah yang ditawarkan asy-Syatibi melalui teori maqashid-nya itu Weil B. Hallaq mengkategorikan para pembaharu di bidang ushul dalam kelompok ini sebagai para pembaharu penganut utilitarianisme.

Sementara itu pertanyaan tentang bagaimanakah teks suci dapat dipahami dan kemudian dijalankan dalam konteks dunia modern yang sudah barang tentu tidak lagi sama dengan konteks zaman nabi. Pernyataan semacam itu menurut sebagian pakar seperti Muhammad

Iqbal, Mahmud Muhammad Taha, Abdullah Ahmed An-Naim, Muhammad Said Ashmawi, Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur. Sama sekali tidak dapat diselesaikan dengan berpijak pada prinsip maslahah klasik diatas. Mereka beranggapan prinsip maslahah tidak lagi memadai untuk

membuat hokum Islam tetap relevan di dunia modern. Weil B. Hallaq menamakan kelompok ini dengan aliran liberalisme keagamaan karena cenderung berdiri pada paradigma yang terlepas dari pada paradigma klasik.

lebih lanjut dia berkomentar kelompok ini lebih menjanjikan dan lebih persuasif. Kelompok ini dalam rangka membangun metodologinya yang ingin menghubungkan antara teks suci dan realitas modern lebih berpijak pada upaya melewati makna eksplisit teks untuk menangkap jiwa dan maksud luas dari teks. Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer, dalam Mazhab Jogja:

Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Ar-Ruz, 2002, hlm 118-123.

C. Metode Pembaharuan Hukum Islam Kontemporer (Telaah Pemikiran

Tokoh)

Banyak kritikan dan kajian yang menilai bahwa kontruksi bangunan Ushul Fiqh klasik sebagai sebuah metodologi istimbat hokum sudah tidak relevan lagi. Respon ini beragam baik dari yang hanya bersifat sebuah kritikan, tawaran alternatif sampai upaya rekontruksi dan dekontruksi terhadapnya. Berikut upaya pelacakan terhadap contoh-contoh metodologi yang ditawarkan beberapa tokoh yang terkait dengan kajian hokum Islam yang tentu saja selain mereka di bawah ini masih banyak lagi para tokoh yang juga melakukan upaya yang sama. Metode-metode ini dilacak melalui penelusuran terhadap tokoh yang di kategorikan Hallaq pada kelompok liberal.

. Fazlur Rahman

Fazlur Rahman (Rahman) dilahirkan pada tahun 1919 kemudian tumbuh dan berkembang dalam latar pendidikan tradisional sebagaimana lazimnya masyarakat muslim pada saat itu di Pakisatan. Rahman mempelajari ilmu-ilmu keislaman secara formal di madrasah. Setelah menamatkan pendidikan menengahnya dia melanjutkan studinya di departemen ketimuran Universitas Punjab. Pada tahun 1942 ia berhasil menyelesaikan pendidikan akademisnya di universitas tersebut dengan meraih gelar MA. dalam Sastra Arab. Sekalipun terdidik dalam lingkungan pendidikan Islam tradisional sikap kritis mengantarkan jati dirinya sebagai seorang pemikir yang berbeda dengan kebanyakan alumni madrasah. Sikap kritis yang menggambarkan ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan tradisional terlihat dengan keputusannya melanjutkan studi ke barat, Oxford University, Inggris. Keputusannya tersebut merupakan awal sikap kontroversial Rahman.

10 Ghufran A. Mas.adi: Pemikiran Fazlur rahman tentang metodologi Pembaharuan Hukum Islam,

Rajawali Press, Jakarta, 1997.

11 Ibid

Berbicara tentang alur pemikiran Rahman ada dua istilah metodik

yang sering disebutkan dalam buku-bukunya yakni historico-critical

method (metode kritik sejarah) dan hermeunetic method (metode

hermeunetik). Kedua istilah tersebut merupakan kata kunci untuk menelusuri metode-metode dalam pemikirannya.11 Dalam memahami dan menafsirkan sumber utama Islam dalam hal ini Al Qur’an, Rahman menggunakan teori doble movement (gerak ganda).

Hubungan yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam alqur’an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profane disisi yang lain. Dua Unsur inilah yang menjadi tema sentral metode Rahman. Permasalahannya ada pada bagaiman cara mendialogkan antara dua sisi tersebut agar nilai-nilai kewahyuan bisa selalu sejalan dengan sejarah umat manusia. Gerak pertama pada teori Rahman menghendaki adanya memahami makna al-Quran dalam konteks kesejarahannya baik secara spesifik dimana kejadian itu berlangsung (mikro) maupun secara global bagaimana kondisi sekitar kejadian itu pada umumnya (makro). Dari sini bisa diambil pemahaman yang utuh tentang konteks normative dan historisnya suatu ayat maka timbullah istilah legal specific (praktis temporal) dan moral ide (normative universal).

Kemudian gerak Kedua yang dilaklukan adalah upaya untuk menerapkan prinsip dan nilai-nilai sistematik dan umum dalam konteks penafsiran pada era kontemporer yang tentunya mensyaratkan sebuah pemahaman yang kompleks terhadap suatu permasalahan. Disini terlihat keberanjakan Rahman dari metodologi ushul fiqh lama yang cenderung literalistik dan menurutnya perlunya penguasaan ilmu-ilmu bantu yang bersifat kealaman maupun humaniora agar para penafsir terhindar dari pemahaman yang salah. sangat jelas bahwa gagasan yang ditawarkannya bersifat paradigmatik yang berusaha menghindarkan pemahaman intelektual dari dogma dan batas batas dimensi cultural yang membelenggu.

Rahman telah menyadari kemungkinan bahaya subyektifitas penafsir, untuk menghindarkan atau setidaknya untuk meminimalkan bahaya subyektifitas tersebut rahman mengajukan sebuah metodologi tafsir yang terdiri dari tiga pendekatan: Pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks; kedua, pendekatan kontentual untuk untuk menemukan sasaran dan tujuan yang terkadang dalam ungkapan legal spesifik dan ketiga, pendekatan latar belakang sosiologis untuk menguatkan hasil temuan penedekatan kontentual atau untuk menemukan sasaran dan tujuan yang tidak dapat diungkapkan oleh pendekatan kontentualAmin Abdullah,

Paradigma Alternatif… hlm 134-135.

. Muhammad Syahrur

Muhammad Syahrur lahir di Damaskus, Syiria tahun 1938. Ia mulai menapaki jenjang pendidikan dasar dan menengah sebelum ia pergi ke Moskow untuk belajar ilmu tehnik (engineering) di Universitas hingga tahun 1964. Dua tahun kemudian 1968 ia melanjutkan pendidikan master dan doktornya dalam bidang mekanika tanah (soil mecanichs) dan tehnik bangunan (foundation engineering) pada Universitas College Dublin di Irlandia. Sepulang dari Irlandia ia memulai kiprah intelektualnya sebagai seorang professor tehnik di Universitas Damaskus, Syiria hingga sekarang. Sebelum masuk dalam jajaran selebritis intelektual muslim dunia berkat perhatiannya yang mendalam tentang pemikiran Islam yang dituangkan dalam karya monumentalnya al-Kitab wa al Qur’an: Qira’ah al-Muasirah13 Karya monumental Syahrur yang telah mencuatkan namanya tersebut merupakan hasil perjalanan panjang intelektualnya sekitar 20 tahun. Pembacaan ulangnya terhadap islam menghasilkn pemahaman dan kesan yang kuat tentang akurasi istilah-istilah yang digunakan dalam al-Kitab (al-Qur’an) dalam pembacaan ulangnya ini teori yang cukup terkenal yang ditawarkannya adalah teori batas (Nazariyyah al-Hudud).

Syahrur memandang adanya dua sifat pokok yang terdapat dalam al-Kitab yang mutlak harus dimengerti untuk memahami keistimewaan agama Islam, yakni hanifiyyah dan Istiqamah. Kedua sifat ini selalu bertentangan tetapi saling melengkapi. Berdasarkan sejumlah ayat Syahrur menyimpulkan bahwa makna hanafiyah adalah penyimpangan dari sebuah garis lurus, sedangkan istiqanmah artinya sifat atau kualitas dari garis lurus itu sendiri atau yang mengikutinya. Hanifiyah adalah sifat alam yang juga terdapat dalam sifat alamiah manusia.

13 .M. In.am Esha, Muhammad Syahrur: Teori Batas dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam

Kontemporer, Jendela, Yogyakarta 2003, hlm. 296.

Syahrur Berargumen dengan dalil fisikanya bahwa tidak ada benda yang gerakkannya dalam bentuk garis lurus. Seluruh benda sejak dari elektron yang paling kecil hingga galaksi yang terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus). Oleh karena itu ketika manusia dapat mengusung sifat seperti ini maka ia akan dapat hidup harmonis dengan

alam semesta. Demikian halnya kandungan hanifiyyah dalam hokum

Islam yang cenderung selalu mengikuti kebutuhan sebagian anggota masyarakat dengan penyesuaian dengan tradisi masyarakat. Untuk mengontrol perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah garis lurus istiqamah menjadi keharuasan untuk mempertahankan aturan-aturan hokum yang dalam konteks inilah teori batas diformulasikan. Garis lurus bukanlah sifat alam ia lebih merupakan karunia tuhan agar ada bersama-sama dengan hanifiyah untuk mengatur masyarakat.14

14 Secara umum, teori batas (Nazariyyah al-Hudud) barangkali dapat digambarkan bahwa terdapat ketentuan Tuhan yang diungkapkan dalam al-Kitab dan Sunnah yang mentapkan batas bawah yang merupakan batas minimal ayng dituntut oleh hokum dan batas atas merupakan batas maksimal bagi seluruh perbuatan manusia. Yang jika melanggar batas minimal dan maksimal tersebut dianggap perbuatan yang dilarang (haram) dengan kata lain manusia bisa melakukan gerak dinamis dalam batas-batas yang telah ditentukan. Amin Abdullah, Paradigma

Alternatif… hlm 134-135

Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur

menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas. Pertama, ketentuan hokum yang memiliki batas bawah. Ini terjadi dalam hal macam-macam perempuan yang tidak boleh dinikahi. Kedua, ketentuan hokum yang hanya memiliki batas atas. Ini terjadi pada tindak pidana pencurian. Ketiga, ketentuan hokum yang memiliki batas atas dan bawah. seperti hukum waris dan poligami. Keempat, ketentuan hokum yang mana batas bawah dan atas berada pada satu titik (garis lurus) tidak boleh lebih dan kurang. ini terjadi pada hukuman zina yaitu 100 kali jilid. Kelima, ketentuan yang memiliki batas atas dan bawah tetapi kedua batas tersebut tidak boleh disentuh. Karena dengan menyentuhnya berarti telah terjatuh pada larangan tuhan hal ini berlaku pada hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan Keenam, ketentuan hokum yang memiliki batas atas dan bawah dimana batas atasnya tidak boleh dilampaui dan batas bawahnya boleh dilampaui. Batas atas terjadi pada riba dan batas

bawah adalah pinjaman tanpa bunga (al-qard al-hasan). 15

15 Metodologi yang digunakan syahrur adalah filsafat dengan titik berat pada filsafat materialisme. Hal ini terlihat pada pandangannya bahwa sumber pengetahuan yang hakiki adalah alam materi diluar diri manusia. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hermeunetik dengan penekanan pada asfek filologi dan ini tercermin jelas pada seluruh bagian pembahasannya. Adapun kerangka teoritik yang menjadi acuan Syahrur dalam memformulasikan ide-idenya dalam ajaran islam membedakan antara yang berdimensi nubuwah yang merupakan kumpulan informasi kesejarahan yang dengan itu dapt dibedakan antara benar dan salah dalam relitas empirisnya dan risalah adalah kumpulan ajaran yang wajib dipatuhi oleh manusia yang berupa ibadah,

muamalah, akhlak dan hukum halal-haram. Ibid, hlm. 136-138.

16 Muhyar Fanani, Abdullah Ahmad An-Naim: Paradigma Baru Hukum Publik Islam, dalam Khudori

Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, Jendela, Yogyakarta 2003. Hlm. 3.

. Abdullah Ahmed an-Naim

Meskpiun penetrasi pembaharuannya lebih ditekankan pada ranah hukum publik Islam, namun tokoh yang satu ini juga menyerukan paradigma yang sama dalam hal perubahan. Abdullah Ahmad an-Naim (an-Naim) adalah seorang aktivis HAM yang dikenal di dunia internasional. Lahir di Sudan pada 1946 dan menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Khartoum tiga tahun kemudian pada tahun 1973 dia mendapat gelar sekaligus LL.B., LL.M, dan M.A dari University of Cambridge, Inggris. Pada tahun 1976 mendapat gelar Ph.D. dalam bidang hokum dari University Of Edinburg Skotlandia dengan disertasi tentang perbandingan prosedur pra percobaan criminal (hokum Inggris, Skotlandia, Amerika dan Sudan). An-Naim termasuk ilmuan yang memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam sekaligus mempunyai dedikasi yang tinggi untuk menegakkan HAM. Selain sebagai ahli hokum an-Naim juga seorang yang ahli dalam bidang hubungan Internasioanal.16 An-Naim Menawarkan metodologi baru alternative dalam menguak pandangan Islam terhadap HAM. Perhatian utamanya adalah hokum

islam kaitannya dengan isu-isu internasional modern seperti HAM, konstitusionalisme modern, dan hokum pidana modern. Menurutnya hokum Islam saat ini membutuhkan reformasi total “Dekontruksi.”.

Metode pembaharuan hukum Islam Ahmad Na’im sebenarnya berangkat dari metodologi yang diintroduksi dari gurunya sendiri, Mahmoud Muhammad Thaha yakni teori evolusi yang memuat teori naskh (sebagaimana dikenal dalam ushul Fiqh) namun substansi dalam penerapannya akan berbeda. Dalam pandangan Thaha, teori Naskh lama yang menganggap bahwa ayat-ayat (juga hadis) Madaniyah menghapus ayat (juga hadis) makiyah, harus dibalik, yakni ayat makiyah lah yang justru menghapus ayat madaniyyah. Keyakinan Thaha bahwa abad modern ini ayat-ayat makiyah justru menasakh ayat-ayat madaniyah karena ayat-ayat makiyah bersifat lebih universal dan abadi karena menganjurkan kebebasan, persamaan derajat tidak mendiskriminasi jender maupun agama dan kepercayaan.

Dari kerangka berpikir sang guru inilah An-Naim memformulasikan buah pikirannya terhadap isu-isu global yang jadi perhatiannya. Menurut An-Naim pilihan Thaha terhadap abad ke-20 sebagai abad yang tepat untuk pemberlakuan kembali ayat-ayat Makiyah memang subjektif meski dikemukakan secara rasional. Namun, bagaimanapun menurut An-Naim kita tidak memiliki alternative ide yang lain untuk menggantikan pemikiran taha itu dengan kata lain, metodologi Thaha merupakan keniscayaan. Umat Islam dihadapkan kepada dua pilihan yan tidak relevan khususnya dalam bidang hokum public. pertama, tetap menggunakan piranti hokum klasik dengan berbagai macam kekurangan dan kerancuan terminologisnya dan yang kedua, menggunakan hokum barat yang disebarkan melalui kolonialismeyang mau tidak mau harus diterima karena tidak ada alternatif yang memadai. 17 Meskipun Piranti metodologis An-Naim lebih diproyeksikan pada bidang hokum publik namun secara paradigmatik bisa saja diterapkan dalam bidang hokum privat pada umumnya dan hokum keluarga pada khususnya karena kegelisahan hokum islam pada umumnya adalah sama yaitu bagaimana keberadaannya tetap relevan dalam perkembangan zaman.

17 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, HAM dan, Hubungan

Internasional, Penerjemah: Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Rany., LKiS, Yogyakarta, 1990.

D. Metode Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim (Utilitarianisme atau

Liberalisme?)

Apa yang membedakan kelompok utilitarian dengan kelompok liberalis dan bagaimana konkuensi logisnya terhadap produk hokum ? bisa ditinjau dari persepsi-persepsi tentang sifat hokum islam berikut; Ada lima sifat hukum islam yang melekat pada dirinya sebagai sifat asli yang otomatis jika diakitkan dengan hokum keluarga dan kewarisan juga pasti akan terlihat.

1. Bidimensional. Artinya hokum Islam mencakup dua macam hubungan dalam makna vertikal (ibadah) dan horizontal (kemasyarakatan/muamalah) Dalam pandangan Islam eksistensi manusia tidak berdiri sendiri melainkan berkait erat dengan dimensi ketuhanan.

2. Adil. Sifat adil yang berkaitan erat dengan prisip keadilan dan persamaan hak antara siapapun. Dalam hokum keluarga Islam, suami dan istri memiliki kedudukan yang sama, karena itu tidak dibenarkan dominasi suami terhadap istri, atau sebaliknya. Dalam hukum kewarisan Islam baik pria maupun wanita, anak-anak dan dewasa, dapat menjadi ahli waris. Hukum Islam telah mengangkat kembali derajat kaum wanita yang sebelumnya tidak mungkin menjadi ahli waris, karena alasan-alasan irasional.

3. Individu dan Kemasyarakatan. Yang dilihat dari sudut hokum keluarga dan kewarisan Islam memberikan posisi kepada manusia baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok keluarga yang membentuk suatu masyaraklat.

4. Konfrehensif. Hukum keluarga dan kewarisan islam adalah dua sub system hukum yang merupkan bagian dari hokum Islam yang komprehnesif. Orang yang ingin menjadi ahli dalam hokum islam tidak mungkin mengabaikan hukum keluarga dan hokum dan kewarisan Islam, yang boleh dikatakan sebagai “central core” dalam hokum islam itu kedua macam sub sistem hukum islam itu secara langsung mengatur hak-hak insividu agar

terwujud suatu kehidupan masyarakat yang mapan sejahtera dan tentram.

5. Dinamis. Meskipun usianya sudah lebih dari empat belas abad namun baik hokum keluarga maupun kewarisan islam tetap dinamis dalam makna pengembangan pemikiran melalui ijtihad terhadap berbagai macam permasalahan atau kasus dalam kedua macam sub system hokum islam tersebut.18

18 H.M. Tahir Azhary, Hukum Keluarga dan Kewarisan Islam Dalam Masyrakat Modern Indonesia,

Mimbar Hukum No. 10, 1993, hlm. 25.

Dari persepsi tentang sifat hokum Islam diatas dapat dilihat perbedaan yang mendasar secara epistemologi antara dua corak ushul fiqh yang mewarnai dunia muslim kontemporer (utilitarianisme dan liberalisme) melalui teropong metodologi kedua varian tersebut pada poin pertama menurut utilitarianis, Tuhan sebagai sentral peradaban manusia (teocentris) manusia sepenuhnya tunduk terhadap nas-nas agama Dan menurut liberalis manusia sebagai central peradaban manusia yang dibungkus dengan dimensi ketuhanan (Antropocentris) sehingga dari pemahaman yang berbeda ini akan meruncing pada sisi sakralitas al-

Qur’an.

Pada poin ke-2 sampai poin ke-4, titik tekannya adalah persepsi yang berbeda terhadap pemaknaan Al-Qur’an. kelompok utilitarian Menganggap Al-Qur’an sebagai Kalamullah yang mutlak secara lafzan wa ma’nan sedangkan menurut liberalis Al Qur’an mutlak secara ma’nan saja tidak secara lafzan karena dalam proses turunnya Al-Qur’an berinteraksi dengan budaya manusia tanpa mengurangi nilai kesucian yang ada didalam Al-Qur’an itu sendiri tentunya. kelompok utilitarianis cenderung tidak punya keberanian untuk mengeksplorasi teks-teks yang dianggap suci sedangkan kelompok liberalis sebaliknya. Pada poin ke-5 Kedinamisan hokum islam yang dilakukan kelompok utilitarian berangkat bulat dari paradigma dan metodologi lama yang dianggap telah mapan walaupun banyak kekurangan sehingga menurut kelompok liberal produk hokum yang seperti ini terasa kering dan cenderung ditinggalkan masyarakat modern yang sekarang ini tanpa alasan teologis mengingkarinya tapi secara alamiah meninggalkannya sehingga dibutuhkan perangkat metodologi baru yang dapat mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Hukum Islam yang

universal dan hakiki.19

19 Dari perbedaan konsepsi mendasar dari kedua kelompok ini khususnya pada tataran epistemologi paradigmatik sepertinya kebutuhan masyrakat muslim kontemporer dan arus perkembangan zaman lebih bisa menerima paradigma yang cenderung liberal, meskipun kebutuhan ini masih banyak mendapat tantangan dari kelompok utilitarianistik yang masih meyakini epistemologinya masih bisa bersaing di tengah tuntutan perubahan.

E. Aplikasi Metode Pembaharuan dalam Hukum Keluarga Kontemporer

Untuk memperjelas uraian diatas maka berikut akan diuraikan

sedikit contoh aplikasi metode pembaharuan hukum khususnya hukum

keluarga muslim kontemporer. Contoh-contoh berikut diambil dari ijtihad-ijtihad para tokoh diatas dalam mengaplikasikan metode yang mereka gagas sendiri khususnya teori gerak gandanya Rahman dan teori

batasnya Shahrur.

. Teori gerak ganda

Contoh sederhana dari teori gerak gandanya Rahman dalam hal hak istri untuk bercerai dalam keadaan tertentu (khulu’) dalam analisisnya terhadapa ayat yang digunakan mayoritas ulama dalam peniadaan hak wanita ini adalah ayat al-Qur’an IV :3 dan II :28, yang menerangkan superioritas lelaki atas wanita. Pada gerak pertamanya Rahman mencoba mengangkat aspek historis ayat dengan latar belakang sosial budaya yang berlaku tentang

status wanita pada waktu turunnya ayat. Menurutnya masyarakat Arab ketika itu didominasi oleh kaum lelaki dan posisi kaum wanita sangat lah rendah sehingga wajar saja ketika bunyi teks al-Qur’an menyesuaikan dengan kondisi zaman dan konteks turunnya ayat dan hal ini dirasakan sangat bersifat temporal. Dengan mengambil nilai yang lebih universal dari gerak pertamanya yaitu tentang persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan Rahman beranjak ke gerakan kedua, Menurut Rahman, adalah sangat pelik untuk mempertahankan keadaan berdasarkan ayat-ayat tersebut bahwa masyarakat harus tetap seperti masyrakat Arrab abad ke-7 M, atau masyrakat abad pertengahan pada umumnya, dia berpandangan bahwa anggapan mayoritas ulama tentang monopoli kaum laki-laki atas hak cerai sama sekali tidak dicuatkan dari al-Qur’an dan bahwa ketentuan mengenai hak cerai kaum wanita adalah

positif.20

20 Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman,

Cet III, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 90.

Contoh kedua yaitu tentang kedudukan cucu selaku pengganti orangtuanya dalam menerima warisan dari kakeknya. Konsep hukum waris klasik samasekali tidak memeberi bagian kepada cucu yatim yang ditinggal wafat oleh kakeknya karena terhalang pamannya. Gerakan pertama Rahman dalam hal ini dengan pendekatan historisnya mengemukakan bahwa prinsip waris semacam itu besarkemungkinannya berasal dari praktek suku-suku Arab pada masa pra Islam. Dalam masyarakat kesukuan, tetua-tetua suku, atau suku itu secara keseluruhan, berkewajiban mengurus kepentingan anggota-anggota suku yang tidak mampu. Pada sistem patriarkal abad pertengahan, paman-paman berkewajiban mengurus keponakannya yang ditinggal wafat oleh ayahnya, sehingga anak yatim itu tidak memperoleh bagian warisan dari kakeknya.

Setelah mendapatkan nilai Normatif universal dan temporalnya koteks ketentuan ayat diatas gerak kedua Rahman adalah mengkontekstualkannya pada zaman kekinian. Pada zaman modern ini situasi telah jauh berbeda dan semakin akut, karena paman-paman semakin tidak menyukai tanggung jawabnya untuk mengurus keponakannya yang yatim dan terhalang oleh mereka dalam menerima waris. Berdasarkan pertimbangan ini Rahman berpendapat bahwa jika seorang kakek wafat dan hanya meninggalkan seorang anak lelaki serta seorang cucu dari anak lelaki lainnya yang telah wafat maka ia memeperoleh bagian warisan yang sama dengan pamannya karena ia menempati kedudukan ayahnya saat menerima waris.21

21 Ibid, h. 90-91.

. Teori batas

Beralih pada contoh aplikasi teori batasnya Shahrur dalam bidang hukum keluarga dalam hal ini hukum kewarisan. Contoh terbaik dalam hal ini adalah firman Allah: li Adh-dhakari mithlu hazzi al-unthayayni. Kebanyakan para ahli fiqih menganggap bahwa firman ini adalah batasan yang telah ditentukan dan tidak boleh keluar darinya dalam seluruh kasus yang dialami anak-anak. Konsep ini memukul rata semua kasus dan berpijak pada konsep yang lahir dari pemahaman ayat diatas “satu bagi anak laki-laki dan setengah bagi anak perempuan” Sedangkan menurut Shahrur batasan tersebut adalah batasan khusus yang hanya bisa diterapkan dalam kasus ketika jumlah perempuan dua kali lipat jumlah laki-laki.

Mengenai kewarisan anak ini lebih jauh Shahrur merumuskan teori batasnya berangkat dari ayat al-Qur’an Surah an-nisa ayat 11 kemudian Shahrur memberikan rumusan batas dimana setiap konteks hubungan antara anak laki-laki dan perempuan bisa saja berubah sesuai dengan jumlah perbandingan anak, dan tidak melulu terpaku pada konsep “satu bagi anak laki-laki dan setengah bagi anak perempuan” sebagaimana yang digeneralkan mayoritas ulama fiqh. Adapun formulasi teori batasnya adalah sebagai berikut:

Batas pertama: li Adh-dhakari mithlu hazzi al-unthayayni (laki-

laki=1: Perempuan=1/2).

Ini adalah batasan hukum yang membatasi jatah-jatah atau bagian-bagiana (huzuz) bagi anak-anak si mayit jika mereka terdiri dari seorang laki-laki dan dua anak perempuan. Pada saat yang bersamaan ini merupakan kriteria yang bisa diterapkan pada semua kasus dimana jumlah perempuan dua kali lipat jumlah laki-laki.

Batas kedua: fa ini kunna nisa’an fawqa ithnatayni (Lk=1/3: Pr= 2/3).

Batas hukum ini membatasi seorang laki-laki dan tiga perempuan dan selebihnya (lebih dari dua). Satu orang laki-laki+perempuan lebih dari dua, maka bagi laki-laki adalah 1/3 dan bagi pihak perempuan adalah 2/3 berapapun jumlah mereka (diatas dua). Batasan ini berlaku pada seluruh kondisi ketika jumlah perempuan lebih dari dua kali jumlah laki-laki. Batas ketiga: wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu (lk=1: Pr=1). Batas hukum ketiga ini membatasi jatah warisan anak-anak dalam kondisi ketika jumlah pihak laki-laki sama dengan jumlah pihak perempuan, jadi masing masing anak mendapatkan separuh dari harta peninggalan. Menurut Shahrur Jika diperhatikan pihak laki-laki pada batas kedua yang termasuk dalam kategori rumus ini tidak mengambil bagiannya berdasarkan ketentuan batas yang pertama. Pada dasaranya pembagian ini sangat alami, karena hukum batasan pertama hanya dapat diberlakukan pada kasus yang telah ditetapkan Allah dan tidak dapat

diterapkan pada kasus lainnya. 22

22 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Penerjemah: Shahiron Syamsuddin)

eLSAQ Press, Yogyakarta, 2004, hlm 360-361.

F. Penutup

Demikianlah uraian singkat tentang metode-metode pembaharuan hokum dan hokum keluarga Islam dalam pemikiran Islam kontemporer meskipun nuansa perubahan memang cukup terasa namun keberanjakan paradigma hokum dari metodologi hokum klasik ke sebuah metodologi baru secara aplikatif memang masih jarang ditemui. Karena menurut para ahli hokum yang masih menggunakan paradigma klasik metode-metode baru yang ditawarkantidak menawarkan sebuah solusi yang tuntas selain itu masih kuatnya kungkungan dogmatis yang mengitari mengakibatkan sikap apatis ini semakin kuat dan kebanyakan Negara Islam maupun Negara non Islam yang memakai hokum islam dan hokum keluarga khususnya kebanyakan masih bercorak utilitarianistik.

Namun geliat pembaharuan yang dilakukan oleh para pemikir diatas sedikit banyak membangkitkankan gairah baru dalam bidang kajian hukum keluarga secara khusus dan pemikiran Islam secara umum dan sekaligus menjadi sebuah titik tolak harapan perubahan pada saat umat Islam terpuruk ditengah derasnya arus perubahan.

Daftar pustaka

. Abdullah Ahmed An-Naim, Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, HAM dan, Hubungan Internasional, Penerjemah: Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Rany., LKiS, Yogyakarta. 1990.

. Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer, dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Ar-Ruz, 2002.

. Ghufran A. Mas.adi: Pemikiran Fazlur rahman tentang metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Rajawali Press, 1997.

. Hilman Latief, Nasr hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, Elsaq Press, 2003 Yogyakarta

. Khudori Sholeh (Ed), Pemikiran Islam Kontemporer, Jendela, Yogyakarta, 2003.

. M. In.am Esha, M. Syahrur: Teori Batas dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, Jendela, Yogyakarta 2003.

. Muhyar Fanani, Abdullah Ahmad An-Naim: Paradigma Baru Hukum Publik Islam, dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, Jendela, Yogyakarta 2003.

. M. Hanif A, Nasr Hamid Abu Zayd dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, Jendela, Yogyakarta 2003.

. Noor Ahmad dkk, Epistemologi Syara’: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia.

. Syamsul Anwar, Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam, dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh kontemporer, Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2002.

. Tahir Azhary, Hukum Keluarga dan kewarisan Islam Dalam Masyrakat Modern Indonesia, Mimbar Hukum No. 10, 1993.

. Taupik Adnan Amal, Islam dan Tantangan modernitas, studi atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung 1989.

. Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Penerjemah: Shahiron Syamsuddin) eLSAQ Press, Yogyakarta, 2004.

. Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni, (terjemahan), Rajawali Pers, Jakarta, 2000.

HUKUM TATA NEGARA

HTN

A. Pengertian Negara Hukum

Negara Hukum Adalah Negara yang didalamnya terdapat berbagai aspek peraturan-peraturan yang memang bersifat abstrak yaitu memaksa, dan mempunyai sanksi yang tegas.Gagasan Negara hukum masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih ekplisit pada abad ke-19, yaitu dengan munculnya konsep rechtsstaat dari Freidrich Julius Stahl, yang diilhami oleh Immanuel Kant. Negara Hukum Demokratis, Negara hukum bertumpu pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan, dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui system demokrasi. Hubungan antara Negara hukum dan demokrasi tidak dapat dipisahkan. Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. emokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas Negara hukum. Dengan demikian Negara hukum yang bertopeng pada sistem demokrasi dapat disebut sebagai Negara hukum demokratis.

B. Sejarah dan Perkembangan

Diskursus ilmiah mengenai negara selalu diwarnai oleh pertanyaan mengenai legitimasi kekuasaan negara yang besar atas rakyat. Pemikiran mengenai hal ini muncul sejak jaman Yunani kuno. Pada waktu itu Plato dan Aristoteles menyatakan bahwa negara memerlukan kekuasaan yang mutlak, untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang rasional. Sebenarnya pada jaman yang sama, gagasan bahwa rakyat dapat menentukan kebijakan-kebijakan negara -yang kemudian dikenal dengan nama demokrasi- mulai lahir dengan bentuk yang masih sangat sederhana. Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (city state) Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM) merupakan demokrasi langsung (direct democracy) yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Walaupun pengambilan keputusan secara kolektif telah mulai diselenggarakan, pelembagaannya belumlah dikenali secara utuh. Pada saat itu, tahap pemikiran mengenai teori negara baru muncul. Bagi Plato dan Aristoteles, kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang sepatutnya. Individu akan menjadi liar dan tak terkendali bila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar. Latar belakang dari pemikiran mereka adalah bahwa pada dasarnya individu memiliki kecenderungan yang keras untuk bertindak atas dasar kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, agar keadaan masyarakat tidak menjadi kacau, harus ada lembaga yang kuat untuk mengarahkan individu-individu dalam masyarakat. Arah dan tujuan negara yang dimaksud oleh Plato dan Aristoteles adalah penegakan moral dalam masyarakat. Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang Negara Hukum dikembangkan oleh para filusuf besar Yunani Kuno seperti Plato (429-347 s.M) dan Aristoteles (384-322 s.M). Dalam bukunya Politikos yang dihasilkan dalam penghujung hidupnya, Plato (429-347 s.M) menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan; pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukumt.[1] Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322 s.M) adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Dan bagi Aristoteles (384-322 s.M) yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan sajat.
Pada masa abad pertengahan pemikiran tentang Negara Hukum lahir sebagai perjuangan melawan kekuasaan absolut para raja. Menurut Paul Scholten dalam bukunya Verzamel Geschriften, deel I, tahun 1949, hlm. 383, dalam pembicaraan Over den Rechtsstaat, istilah Negara Hukum itu berasal dari abad XIX, tetapi gagasan tentang Negara Hukum itu tumbuh di Eropa sudah hidup dalam abad tujuh belas. Gagasan itu tumbuh di Inggris dan merupakan latar belakang dari Glorious Revolution 1688 M. Gagasan itu timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal sebagai Bill of Right 1689 (Great Britain), yang berisi hak dan kebebasan daripada kawula negara serta peraturan penganti raja di Inggris.[2]
Di Indonesia istilah Negara Hukum, sering diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law. Paham rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa didominir oleh absolutisme rajat. Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system. Konsepsi Negara Hukum menurut Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre, mengemukakan mengenai konsep negara hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats.[3]

C. Unsur-Unsur Negara Hukum

Adapun unsure-unsur yang harus ada dalam suatu Negara hukum adalah :a. Perlindungan hak-hak Asasi Manusia b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu.c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangand. Peradilan administrasi dalam perselisihan Munculnya “unsur peradilan administrasi dalam perselisihan “ pada konsep rechtsstaat menunjukan adanya hubungan histories antara Negara Hukum Eropa Kontinental dengan Hukum Romawi. “Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum continental yang disebut “civil law” atau “modern roman law” Dalam perkembangannya konsepsi Negara hukum tersebut kemudian mengalami penyempurnaan diantaranya :

1. sistem pemerintahan Negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat2. bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan,3. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (Warga Negara)4. adanya pembagian kekuasaan dalam Negara 5. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan yang bebas dan mandiri,arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada dibawah pengaruh eksekutif.,6. adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga Negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah 7. adanya system perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga Negara.Perumusan unsur-unsur Negara hukum ini tidak terlepas dari falsafah dan sosio politik yang melatar belakanginya, terutama pengaruh falsafah Individualisme, yang menempatkan individu atau warga Negara sebagai primus interpares dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu,unsur pembatasan kekuasaan Negara untuk melindungi hak-hak individu menempati posisi yang signifikan. Semangat membatasi kekuasaan Negara ini semakin kental segera setelah lahirnya adagiyum yang begitu popular dan Lord Acton, yaitu “power tends to corrupt, but absolute power corruptabsolutely “ (Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan disalah gunakan ). Model Negara hukum seperti ini berdasarkan catatan sejarah disebut dengan demokrasi konstitusional, dengan cirri pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Dengan kata lain, esensi dari Negara berkonstitusi adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.Atas dasar itu keberadaan konstitusi dalam suatu Negara merupakan condition sine quanon Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, bila Negara hukum diidentikan dengan keberadaan konstitusi dalam suatu Negara dalam abad ke-21 ini hampir tidak suatu Negara pun yang menganggap suatu Negara modern tanpa menyebutkan dirinnya “ Negara berdasar atas hukum “ Negara hukum identik dengan Negara yang berkonstitusi atau Negara yang menjadikan konstitusi sebagai aturan main kehidupan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan. Telah disebutkan bahwa pada dataran implementasi Negara hukum itu memiliki karakteristik dan model yang beragam. Terlepas dari berbagai model Negara hukum tersebut , Budiono mencatat bahwa sejarah pemikiran manusia mengenai politik dan hukum secara bertahap menuju kearah kesimpulan, yaitu Negara hukum merupakan Negara yang akan mewujudkan harapan pada warga Negara akan kehidupan yang tertib, adil, dan sejahtera jika Negara itu diselenggarakan berdasarkan hukum sebagai aturan main Dalam Negara hukum, hukum menjadi aturan permainan untuk mencapai cita-cita bersama sebagai kesepakatan politik. Hukum juga menjadi aturan permainan untuk menyelesaikan segala macam perselisihan, termasuk juga perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan politik tadi. Dengan demikian, hukum tidak mengabdi kepada kepentingan politik sectarian dan primordial, melainkan kepada cita-cita politik dalam kerangka kenegaraan.

D. Prinsip-prinsip Negara Hukum

Adapun prinsip-prinsip Negara hukum, yaitu :

1. Supremasi Hukum ( Supremacy of Law ) : Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative atas supremasi hukum tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law) :
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.

3. Asas Legalitas ( Due Process of Law ) : Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Karena itu, untuk menjamin ruang gerak para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

4. Pembatasan Kekuasaan : Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan itu ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan demikian, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

5. Organ-Organ Eksekutif Yang Bersifat Independen
: Dalam rangka pembatasan kekuasaan tersebut, tidak lagi cukup bahwa kekuasaan Pemerintah dipisah dan dibagi-bagikan ke dalam beberapa organ seperti selama ini. Untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan demokratisasi, terutama sejak akhir abad ke 20, kekuasaan pemerintahan juga semakin dikurangi dengan dibentuknya berbagai ‘independent body’ seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan bahkan lembaga tradisional yang sebelumnya melekat sebagai bagian tak terpisahkan dari fungsi eksekutif, juga dikembangkan menjadi independent seperti Bank Central, Organisasi Tentara, Kepolisian, dan bahkan di beberapa Negara juga Kejaksaan dibuat independent, sehingga dalam menjalankan tugas utamanya tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik memereka yang menduduki jabatan politik di pemerintahan. Di hamper semua negara demokrasi, gejala pertumbuhan badan-badan independen semacam itu merupakan sesuatu yang niscaya. Di Amerika Serikat sendiri, lebih dari 30-an badan semacam ini dikembangkan selama abad ke 20, dan biasa disebut sebagai ‘independent auxiliary state organs’ (lembaga-lembaga negara yang independent dan bersifat penunjang). Beberapa di antaranya diberi kewenangan regulatoris sehingga biasa disebut sebagai ‘self regulatory body’. Di Indonesia, dapat disebut beberapa di antaranya, misalnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), dan sebagainya.

6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak
: Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

7. Peradilan Tata Usaha Negara : Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.

8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court) : Di samping adanya Pengadilan Administrasi Negara atau Pengadilan Tata Usaha Negara (verwaltungsgericht), di lingkungan negara-negara yang menganut tradisi ‘civil law’, sejak tahun 1920, juga berkembang adanya Pengadilan Tata Negara (verfassungsgericht). Jika pengadilan tata usaha negara dapat disebut sebagai fenomena abad ke-19 dan karena itu dianggap sebagai salah satu ciri penting konsep ‘rechtsstaat’ abad ke-19, maka dengan berkembangnya pengadilan tata negara pada abad ke-20, adalah wajar pula jika keberadaannya organ baru ini, baik keberadaan kelembagaannya yang berdiri sendiri ataupun setidaknya dari segi fungsinya sebagai pengawal konstitusi sebagaimana yang dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung Amerika Serikat, juga sebagai ciri konsep negara hukum modern. Jika suatu negara mengklaim menganut paham Negara Hukum, tetapi tidak tersedia mekanisme untuk mengontrol konstitusionalitas pembuatan undang-undang ataupun konstitusionalitas penyelenggaraan demokrasi, maka negara yang bersangkutan tidak sempurna untuk disebut sebagai Negara Hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun Negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).

9. Perlindungan Hak Asasi Manusia : Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.

10. Bersifat Demokratis ( Democratische Rechtsstaat ) : Dalam setiap Negara Hukum, dianut dan dipraktekkan adanya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dengan adanya peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tersebut, setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan dapat diharapkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Artinya, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.

11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare Rechtsstaat) : Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan tetap ‘mission driven’, tetapi ‘mission driven’ yang tetap didasarkan atas aturan.

12. Transparansi dan Kontrol Sosial : Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.



[1] Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum; Problemtika Ketertiban yang Adil, Grasindo, Jakarta, 2004, hlm.36-37.

[2] Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat Di Indonesia, Badan Penerbit Kristen, 1970, hlm. 21.

[3] M. Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta, Bulan Bintang, 1992, hlm. 73-74

CLD KHI

CLD

Setelah dipelajari saksama, revisi terhadap KHI merupakan agenda yang mendesak diselenggarakan. Alasan pertama, KHI memiliki kelemahan pokok justru pada rumusan visi dan misinya. Beberapa pasal di dalamnya, misalnya riil berpunggungan dengan prinsip-prinsip dasar Islam seperti yang banyak diungkap secara literal oleh Al Quran, yaitu prinsip persamaan (al-musâwah), persaudaraan (al-ikhâ`), keadilan (al-`adl), kemaslahatan, penegakan HAM, pluralisme (al-ta’addudiyah), dan kesetaraan jender. Ditemukan sejumlah pasal di dalam KHI yang bias jender. Pasal-pasal ini harus dihapus agar marjinalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan tidak terlembagakan secara formal dalam regulasi perundangan. Kedua, KHI tidak paralel dengan produk perundang-undangan, baik hukum nasional maupun internasional yang telah diratifikasi. Dalam konteks Indonesia, KHI sebagai Inpres No 1/1991 telah berseberangan dengan produk hukum nasional seperti Undang-Undang (UU) No 7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No 39/1999 tentang HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap perempuan. Dalam konteks internasional, juga bertentangan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi, dan beberapa instrumen penegakan dan perlindungan HAM lain seperti Deklarasi Universal HAM (1948), Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966), dan lain-lain. Ketiga, dengan membaca pasal demi pasal di dalam KHI, tampak konstruksi hukum KHI belum dikerangkakan sepenuhnya dari sudut pandang masyarakat Islam Indonesia, tetapi lebih mencerminkan penyesuaian fikih Timur Tengah dan dunia Arab lain. KHI tidak betul-betul merepresentasikan kebutuhan dan keperluan umat Islam Indonesia, akibat tidak digali saksama dari kearifan lokal masyarakat Indonesia.

Bangunan metodologi

Sejumlah pemikir Islam menilai beberapa sisi ketidakrelevanan fikih klasik itu karena ia disusun dalam era, kultur, dan imajinasi sosial berbeda. Fikih klasik tersebut bukan saja tidak relevan dari sudut materialnya, melainkan juga bermasalah dari pangkal paradigmanya. Misalnya, per definisi fikih selalu dipahami sebagai “mengetahui hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil Al Quran dan Al Sunnah. Mengacu pada definisi tersebut, kebenaran fikih menjadi sangat normatif. Kebenaran fikih bukan dimatriks dari seberapa jauh ia memantulkan kemaslahatan bagi manusia, melainkan pada seberapa jauh ia benar dari aspek perujukannya pada aksara Al Quran dan Al Sunnah. Epistemologi semacam inilah yang menjadi utang model penghampiran literalistik. Untuk menghindari itu, CLD KHI bergerak dalam kerangka metodologi berikut. Pertama, mengungkap dan merevitalisasi kaidah ushul marjinal yang tidak terliput secara memadai dalam sejumlah kitab ushul fikih. Terus terang, banyak kaidah ushul fikih yang belum difungsikan secara optimal. Kedua, sekiranya usaha pertama tidak lagi memadai untuk menyelesaikan problem kemanusiaan, upaya selanjutnya adalah membongkar bangunan paradigma ushul fikih lama; [1] mengubah paradigma dari teosentrisme ke antroposentrisme, dari elitis ke populis; [2] bergerak dari eisegese ke exegese. Dengan exegese, para penafsir berusaha semaksimal mungkin untuk menempatkan teks agama sebagai “obyek” dan dirinya sebagai “subyek” dalam suatu dialektika yang seimbang. [3] Memfikihkan syariat atau merelatifkan syariat. Syariat harus diposisikan sebagai jalan (wasîlah) yang berguna bagi tercapainya prinsip-prinsip Islam (ghâyat) berupa keadilan, persamaan, kemaslahatan, penegakan HAM. [4] Kemaslahatan sebagai rujukan dari seluruh kerja penafsiran. [5] Mengubah gaya berpikir deduktif ke induktif (istiqrâ`iy). Dari fondasi paradigmatis ini kita dapat merencanakan beberapa kaidah ushul fikih alternatif. Pertama, kaidah al-ibrah bi al-maqashid la bi al alfadz. Kaidah ini berarti yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid dalam meng-istinbat-kan hukum dari Al Quran dan Al Sunnah bukan huruf dan aksara Al Quran dan Al Hadis melainkan maqashid (tujuan hukum) yang dikandung. Yang menjadi poros adalah cita-cita etik-moral sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Untuk mengetahui tujuan hukum ini, seseorang dituntut memahami konteks. Yang dimaksud bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama menemukan maqashid al-syari’ah (tujuan syariat). Kedua, kaidah jawaz naskh al-nushush bi al maslahah. Bahwa menganulir ketentuan ajaran dengan menggunakan logika kemaslahatan adalah diperbolehkan. Kaidah ini sengaja ditetapkan karena syariat (hukum) Islam memang bertujuan mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashalih), dan menolak segala bentuk ke-mafsadat-an (dar`u al-mafasid). Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, tokoh Islam bermazhab Hanbali, menyimpulkan, syariat Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan kemanusiaan universal yang lain yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan (al-hikmah). Prinsip ini harus menjadi dasar dan substansi seluruh persoalan hukum. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran para ahli fikih ketika memutuskan suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam. Ketiga, kaidah yajuzu tanqih al nuhush bi al-’aql al-mujtama’. Kaidah ini hendak menyatakan akal publik memiliki kewenangan menyulih bahkan mengamandemen sejumlah ketentuan legal-spesifik yang relatif dan tentatif sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, akal publik berotoritas mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasinya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat poligami, nikah beda agama, iddah, waris beda agama, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah kemanusiaan, yang terjadi bisa-bisa merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih ini. Dengan demikian, jelaslah CLD KHI tetap bertumpu pada ayat universal Al Quran berupa keadilan, kemaslahatan, pluralisme, HAM, dan kesetaraan jender. Akhirnya, semoga CLD KHI secara perlahan menjadi perangkat ketentuan hukum Islam yang senantiasa menjadi rujukan dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan, yang menjunjung nilai kemanusiaan, menghargai hak kaum perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.

Abd Moqsith Ghazali Anggota Tim Penyusun Counter Legal Draft KHI

08/03/2005 | Kliping |

Mengapa penulis setuju dengan CLD-KHI? Karena CLD-KHI justru sesuai dengan semangat Islam itu sendiri. CLD-KHI sesuai dengan prinsip persaudaraan (al-ikhâ), kesetaraan (al-musâwah) dan keadilan (al-’adâlah). CLD-KHI juga sesuai dengan HAM dan tidak bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM, juga produk hukum lain seperti UU Perlindungan Anak dan Perempuan. CLD-KHI juga demokratis, pluralis, inklusif, tidak patriarkhis, dan mengutamakan keadilan dan kesetaraan gender. Ini dapat kita lihat dari poin-poin yang mendudukkan hak dan kewajiban suami istri secara setara. Misalnya, adanya iddah dan nusyuz bagi pria, mahar yang saling diserahkan oleh kedua belah pihak, kebolehan perempuan menjadi saksi, bolehnya perempuan 21 tahun menikahkan dirinya sendiri, dihapusnya kewalian sebagai rukun nikah, dan dimasukkannya pencacatan sebagai rukun nikah, dll. Kesemua ini sangat sesuai dengan semangat Islam yang sebenarnya. Untuk itu jangan sampai kita terjebak oleh makna literal teks, seperti konsep qawwâmah dengan mengartikannya sebagai kepemimpinan (laki-laki) saja. Padahal, qawwâmah adalah konsep saling komitmen antara laki-laki dan perempuan untuk membangun rumah tangga berdasarkan konsensus pasutri, bukan kepemimpinan sebelah pihak saja (suami) yang kemudian berujung pada mistifikasi tujuan berumah tannga oleh sebab tidak adanya konsensus dan pembagian tugas yang jelas antara pasutri. Lalu, nusyûz yang dikenakan kepada pihak suami juga bertujuan untuk mengontrol suami; apakah dia melanggar komitmen atau tidak. Apakah suami yang menyiksa istrinya tidak dikatakan melanggar? Ketentuan iddah bagi suami juga berarti memberi kesempatan kepada suami untuk berpikir dan agar dapat mengontrol nafsu seksualnya. Mahar untuk kedua belah pihak berarti adanya keadilan. Bila mahar hanya diserahkan secara sepihak, seakan-akan ada kesan bahwa pihak yang satu membeli (alat kelamin) pihak lain. Lalu poin-poin lain seperti wanita yang dibolehkan menjadi saksi, bisa menikahkan dirinya sendiri, memiliki hak rujuk, mempunyai kewajiban mencari nafkah, dll, juga menunjukkan ketangguhan kaum perempuan itu sendiri dalam sektor yang lebih luas, tidak hanya pada sektor domestik. Apakah menjadi perempuan adalah sebuah kesalahan, padahal Allah menciptakan manusia dalam posisi kesetaraan. Bahkan, kita lahir dalam kesamaan dan kesetaraan. Pada hukum waris pun demikian. Siapa bilang bahwa laki-laki mempunyai beban lebih berat dari wanita? Aplagi anak laki-laki yang ditinggalkan oleh orang tuanya nakal, sedangkan anak perempuannya baik, adilkah bila perbandingan warisan yang akan mereka peroleh adalah 2 berbanding satu? Jika ada rumus adil + adil = adil, mengapa memilih rumus tidak adil + tidak adil = adil? Selain itu, soal perkawinan juga wajib dicatatkan untuk melindungi kedua belah pihak. Itulah poin-poin yang penulis perjuangkan! Hanya saja, penulis mohon lebih lanjut untuk mempertimbangakan poin pernikahan beda agama, poin dilarangnya poligami, serta dilegalkannya kawin kontrak. Bukankah saling mengusik agama dan ruang privat itu melanggar prinsip pluralisme? Apakah untuk menempuh tujuan pernikahan kita harus mengorbankan usaha ke jalan yang benar? Apakah keimanan dan ketauhidan harus dikorbankan? Lalu untuk poligami, bukankah itu mengurangi tingkat prostitusi. Bukankah itu juga menolong pasangan yang tak punya anak? Bukankah itu juga menolong orang yang kesulitan? Jika semua itu dijalankan dengan syarat yang jauh lebih ketat, mungkin poligami masih bisa dilakukan, meskipun dalam realitanya susah mencari pria yang adil dan wanita yang rela dimadu. Untuk masalah kawin kontrak, bukankah ini merugikan wanita serta menyuburkan semacam prostitusi terselubung? Demikianlah pendapat penulis tentang beberapa isu krusial di dalam CLD-KHI. Terakhir, hasil kerja keras Dr. Siti Musdah Mulia dkk ini harus dihargai. Bagaimanapun juga, inilah ijtihad yang cocok untuk situasi dan kondisi seperti sekarang. Janganlah menafsirkan Islam secara tekstual saja, karena itu berarti menjadikan Islam “barang usang”, dan tidak kreatif. Lagipula Islam selalu berhadapan dengan konteks, dan hukum selalu berubah sesuai refleksi keadaan sosial yang ada. Bahkan ketentuan yang secara legal dan eksplisit ada di dalam Alqur’an, tidak diniatkan (Allah) sebagai hukum yang abadi. Demikianlah kata Prof. Fazlur Rahman. Wallahu a’lam.