Selasa, 13 Oktober 2009

proposal penelitian pernikahan dini

  1. LATAR BELAKANG

Perkawinan merupakan sunnatullah yang berlaku pada setiap makhluk dan secara mutlak terjadi pada kehiduan binatang dan tumbuhan. Adapun pada manusia, Allah tidak membiarkanya berlaku liar dan mengumbar hawa nafsu seperti yang terjadi pada binatang. Akan tetapi Allah meletakan kaidah-kaidah yang mengatur, menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia. Yakni pernikahan secara syar’i yang menjadikan hubungan antara pria dan wanita menjadi hubungan yang sakral. Didasari atas kerelaan, adanya serah terima, serta kelembutan dan kasih sayang antarkeduanya. Sehingga dengan perkawinan seperti itu nafsu seksusal akan disalurkan secara benar, dan dapat menjaga kelangsungan keturunan serata dapat menjaga kehormatan kaum hawa dari perilaku tidak senonoh. Menikah merupakan sunatullah1, sunnah para rasul2 dan merupakan sunnah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW3. Menurut undang-undang nomor satu tahun 1974, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal4.

Hukum asal menikah adalah sunah, namun dapat berubah menjadi hukum lain. Misalnya wajib atau haram, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah. Jika seseorang tidak dapat menjaga kesucian dan akhlaknya kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Sebab, menjaga kesucian dan akhlak adalah wajib atas setiap muslim, dan jika ini tak dapat terwujud kecuali dengan menikah, maka menikah menjadi wajib baginya. Adapun menikah dini, yaitu menikah dalam usia remaja atau muda, bukan usia tua, hukumnya menurut syara’ adalah sunnah (mandub). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW .5 Dan tidak ada batasan usia menikah yang ditentukan oleh syariat. Tetapi syari’at hanya menegaskan bagi para pemuda yang mampu untuk menikah6 maka dianjurkan untuk menikah. Maka boleh menikahkan anak laki-laki muda atau anak perempuan muda7. Namun demikian, usia yang ditetapkan oleh undang-undang perkawinan di Indonesia adalah minimal usia 16 tahun bagi perempuan dan usia 19 tahun bagi laki-laki8. Apakah usia yang ditentukan oleh undang-undang tersebut dapat berlaku atau sesuai bagi setiap pasangan di Negara Indonesia. Banyak fakta ditemukan bahwa banyak warga yang melakukan pernikahan dini. Mereka aman-aman saja dalam mengarungi kehidupan rumah tangga dan tidak mengalami hambatan yang berarti.


Bapak M. Fauzil Adhim nampaknya setuju sekali dalam hal pernikahan dini9. Ini dapat dilihat dari bahan presentasi beliau yang memperlihatkan keuntungan-keuntungan yang didapat oleh pasangan yang menikah pada usia remaja. Dan juga terdapat bantahan-bantahan terhadap kelompok yang kontra terhadap pernikahan dini. Dalam pengutaraan presentasinya, bapak fauzil Adzim juga mengambil sumber dari ilmuwan barat yang telah melakukan penelitian terhadap pasangan-pasangan yang telah menikah pada usia muda. Ternyata, dari hasil penelitian yang diperoleh didapat kesimpulan bahwa pasangan yang menikah pada usia muda lebih berbahagia daripada pasangan yang menikah pada usia tua.. Hal itu dikarenakan emosi positif kita masih banyak dan kita penuh dengan prinsip-prinsip sehingga kita bisa tetap mempertahankannya. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur yang ditentukan oleh undang-undang, tetap dibolehkan untuk menikah dengan syarat mendapat izin dari orang tua dan mendapat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yan ditunjuk oleh orang tua.10 Meskipun pernikahan tersebut sudah sah, baik menurut agama maupun menurut undang-undang, akan tetapi masih menuai banyak kontroversi. Hal yang menarik dari kontroversi ini adalah pernikahan yang termasuk ruang privat saat ini telah menjadi konsumsi umum untuk mengintervensi. sebagai contoh adalah pernikahan lutfiana ulfa dengan syekh puji. Padahal pernikahan tersebut dinyatakan sah dan kedua belah pihak (pihak laki-laki dan perempuan termasuk kedua orangtua perempuan tidak ada yang memaksa dan dipaksa). Campur tangan dilakukan pihak ketiga tidak hanya oleh individu tetapi sudah melibatkan lembaga yang “identik dengan Perlindungan anak dan Pembelaan Terhadap hak-hak anak”11.

Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Sebenarnya kalau kita mau melihat lebih jauh, fenomena pernikahan dini bukanlah hal yang baru di Indonesia, khususnya daerah Jawa. Penulis sangat yakin bahwa mbah buyut kita dulu banyak yang menikahi gadis di bawah umur. Bahkan pada jaman dahulu, pernikahan di usia ”matang” akan menimbulkan preseden buruk di mata masyarakat. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi SAW dalam usia muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam.

Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”. Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”. Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi seringkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu sering kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang semakin mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara.

  1. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini penulis ingin mengetengahkan suatu yang telah ada dalam masyarakat ini, yaitu suatu yang sudah sering terjadi yaitu pernikahan dini pada masyarakat di Desa Tambak Mulya, kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen Propinsi Jateng. Sehingga hal ini dipandang perlu adanya ketegasan mengenai status hukumnya dalam konteks masyarakat.

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah diatas, maka penulis merumuskan sebagai berikut:

  1. Apa dampak positif dan negative dari pernikahan dini yang ada pada masyarakat desa Tambak Mulya ?

  2. Kenapa pernikahan dini sudah terbiasa terjadi pada masyarakat desa Tambak Mulya ?

  3. Kenapa peran pernikahan dini dalam upaya untuk meminimalisir pergaulan bebas perlu dipertahankan ?

  4. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap pernikahan dini ?


  1. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Mengacu rumusan pertanyaan penelitian di atas, pada prinsipnya penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan praktek pernikahan dini dalam kehidupan masyarakat. Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan dan kegunaan yang ingin dicapai oleh peneliti yaitu:

  1. Untuk mengetahui dampak positif dan negative bagi pasangan yang melakukan pernikahan dini. Sehingga dapat meminimalisir dampak negative dan memupuk dampak positifnya.

  2. Untuk memperbaiki pandangan negative terhadap pernikahan dini, yang selama ini ada di masyarakat.

  3. Sebagai sumbangan informasi ilmiah juga pengembangan bagi kajian sosial keagamaan dan diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam kajian-kajian ilmiah khususnya sosial keagamaan berikutnya. Semoga berguna bagi masyarakat Tambak Mulya pada khususnya dan umat islam pada umumnya.

  1. Telaah Pustaka

Setelah dilakukan penelusuran ternyata banyak penelitian yang membahas tentang masalah pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini. Di antaranya adalah seperti di bawah ini :

Skripsi yang ditulis oleh Geta Nurmalasari ”Pernikahan dini dan Rendahnya perceraian” (studi kasus di desa Brenggolo kec Kalitidu Bojonegoro Jatim). Skripsi tersebut menerangkan bahwa pernikahan dini tidak menimbulkan perceraian yang terlalu besar.

Skripsi yang ditulis oleh Sofyan Zefri ”Pemalsuan Usia dalam Perkawinan” (Studi Putusan Pengadilan Agama Jember Tentang Pembatalan Perkawinan tahun 2004). Skripsi tersebut menerangkan bahwa : Pertama, Pemalsuan usia nikah untuk menghindar dari ketentuan birokrasi. Dengan memanipulasi keterangan lahir agar diberi izin nikah di bawah umur. Kedua, perkawinan tidak sah dan terjadi karena kesengajaan sehingga dikategorikan kejahatan dan dikenai pidana. Ketiga, adanya pembatalan perkawinan dengan alasan pemalsuan usia ini adalah tepat. Karena didasarkan pada ketentuan batasan usia kawin.

Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Syaikhul Amin ”Pengaruh Perkawinan Usia Muda Terhadap tingkat Perceraian (Studi kasus di Pengadilan Agama Brebes Tahun 2003). Skripsi tersebut menerangkan bahwa : pertama, menikah pada usia muda menyebabkan banyak perceraian. Kedua, menikah usia muda benyak mempunyai efek negatif. Nikah muda disebabkan oleh beberapa aspek di antaranya : Aspek pendidikan yang rendah, Aspek ekonomi menengah ke bawah.

Cukup menarik karena dari beberapa skripsi tersebut ternyata hanya satu skripsi yang memandang positif terhadap pernikahan dini.

  1. Kerangka Teoritik

Secara alamiah, pada manusia dewasa akan timbul nafsu seksual yang perlu disalurkan. Jika tidak tersalurkan, manusia bisa mengalami masa-masa kegelisahan. Sedang, jika dapat disalurkan dengan cara yang benar, akan menimbulkan ketenangan batin dan ketentraman jiwa dan dapat memupuk rasa sayang yang bertanggung jawab. Cara benar yang dimaksud diatas adalah cara yang sudah ditentukan, baik oleh hukum maupun agama, yaitu yang disebut dengan perkawinan.

Bentuk perkawinan ini lebih memberikan jalan yang aman pada naluri kebutuhan biologis, memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak seenaknya. Menurut Sayyid Sabiq, pergaulan suami isteri diletakkan di bawah naungan naluri keibuan dan kebapakkan, sehingga nantinya akan menimbulkan buah yang bagus. Peraturan perkawinan seperti inilah yang diridhoi Allah dan diabadikan Islam untuk selamanya.12

Islam tidak pernah mensyaratkan sahnya suatu perkawinan karena usia pihak-pihak yang akan menikah. Artinya, suatu perkawinan tetap menjadi sah jika rukun dan syaratnya terpenuhi. Tidak adanya persyaratan usia suami isteri itu merupakan kemudahan yang diberikan oleh agama, karena ada segi-segi positif lain yang dituju. Akan tetapi, karena perkawinan itu bukan merupakan hal sederhana, maka agama mengharuskan adanya beberapa rukun dan syarat guna menumbuhkan rasa tanggung jawab.

Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono pada tahun 1983, melalui tulisannya berjudul Bagaimana Kalau Kita Galakkan Perkawinan Remaja? Ketika fitnah syahwat kian tak terkendali, ketika seks pranikah semakin merajalela, terutama yang dilakukan oleh kaum muda yang masih duduk di bangku-bangku sekolah, tidak peduli apakah dia SMP bahkan SD, apalagi SMA maupun perguruan tinggi.13

Kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial telah dijawab dengan logis dan ilmiah oleh Muhammad Fauzil Adhim dalam bukunya “Indahnya Pernikahan Dini”, juga oleh Clarke-Stewart & Koch lewat bukunya “Children Development Through”: bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untukmengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali.14

Selain itu, menurut bukti-bukti (bukan hanya sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai kematangan yang puncak15.

Bahkan menurut Abraham M. Maslow. Menurutnya, orang yang menikah di usia dini lebih mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna dibanding dengan mereka yang selalu menunda pernikahan. Pernikahan akan mematangkan seseorang sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan manusia, mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan.16 Bagaimana dengan pernikahan dini yang menyebabkan ketidak harmonisan rumah tangga. Setelah diteliti, pernikahan dini yang rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan “kecelakaan” (MBA).17 Hal ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat.

Menurut Afriyati, salah satu faktor yang menyebabkan hubungan seksual pranikah adalah penundaan perkawinan. Karena penyaluran seksual tidak dapat dilakukan disebabkan adanya penundaan perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang perkawinan maupun karena norma sosial yang makin lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi ntuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dll).18


  1. Metode Penelitian

Metode kepustakaan yaitu dengan cara mengambil sumber-sumber yang dianggap sangat berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, adapun data yang diperoleh melalui buku-buku, koran, atau majalah.

Riset lapangan adalah mengadakan penelitian secara langsung di desa Tambak Mulya kecamatan Puring kabupaten Kebumen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif yaitu penelitian atau penyelidikan yang bertujuan pada pemacahan masalah tentang pernikahan dini yang ada pada masyarakat.

Untuk mempermudah pengumpulan data, maka penulis menentukan responden untuk dijadikan sumber data, karena pendekatannya kualitatif. Dalam hal ini yang dijadikan sumber data primer lima suami istri yang melaksanakan pernikahan dini.









  1. Daftar Pustaka

Adhim , Muhammad Fauzil : Indahnya Pernikahan Dini, 2002


Adhim, Muhammad Fauzil : Seminar pro-kontra pernikahan dini, Aula Fakultas Kedokteran UNAND Jati, 9.30-15.45 /11 Juni 2006. http://zulfadli088.multiply.com (acces 9 mei 2009)


Afriyati : Perilaku seksual remaja santri di pesantren Purba Baru Tapanuli Selatan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, 2002

Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan : Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI). Jakarta : Prenada Media 2004

At-Tuwaijiri, syaikh Muhammad : Ensiklopedi Islam al-Kamil, alih bahasa Futuhal Arifin dkk, Jakarta : Darus Sunnah Press. 2007

Firmansyah, Burhan : Fenomena Nikah Muda, Buletin Nyampleng Edisi 01, 2009

Kamaludin dan A. Marzuki : Fiqh As-Sunnah Jilid VI, Bandung. : PT. Al-Ma’arif.

1998

Rusliyanto, Iwan : pernikahan dini bukan sekedar alternative, 2007. www.wonosari.com. Acces 9 mei 2009

Undang-undang Perkawinan di Indonesia (dilengkapi Kompilasi Hukum Islam Indonesia). Surabaya : Arkola









1  Dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 21, Allah berfirman : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaa-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu ras kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesran Allah) bagi kaum yang berpikir”.


2  Dalam Al-Qur’an Surat Ar-Ra’d ayat 38, Allah berfirman : “Dan sesungguhya kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan”.


3  Dalam hadits riwayat Bukhari Muslim, Nabi SAW bersabda : “Nikah itu adalah sunnahku, dan barang siapa yg tidak melakukan sunnahku, bukanlah ia dari golonganku dan berkahwinlah kamu kerana aku akan merasa bangga dengan banyaknya kamu pada hari kiamat.”.



4 Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga hal : pertama, suami-istri saling bantu membantu serta saling lengkap-melengkapi. Kedua, masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan kepribadian itu suami-istri harus saling membantu. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah keluarga yang bahagia sejahtera spiritual dan material. Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, studi kritis perkembangan hukum islam dari fikih uu no 1/1974 sampai KHI (Jakarta : Prenada Media, 2004) hal. 51


5 Dalam hadits riwayat Bukhari Muslim Nabi SAW bersabda : “ Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu, hendaknya kawin, sebab kawin itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab puasa akan menjadi perisai bagimu ”.


6 Ibid.


7 http://one.indoskripsi.com\hukum syara, 15 maret 2009



8 UU NO 1 Tahun 1974, pasal 7 ayat 1 : “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.


9 http://zulfadli088.multiply.com (acces 9 mei 2009) Seminar pro-kontra pernikahan dini, Aula Fakultas Kedokteran UNAND Jati, 9.30-15.45 /11 Juni 2006.


10 UU NO 1 Tahun 1974, pasal 7 ayat 2 : Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.


11 Ir. Masnah Sari, SH mengungkapkan bahwa Undang-undang Perlindungan Anak merupakan hasil konvensi hak anak. “Di dalam salah satu pasalnya , usia pernikahan harus diatas 18 tahun. UU Perlindungan Anak melindungi anak tanpa mempertimbangkan hak kewarganegaraannya. Anak harus diasuh demi keutuhan keluarga, diberi sarana material, moral dan spritual untuk perkembangan.”



12 Fiqh As-Sunnah Jilid VI, Alih Bahasa H. Kamaludin dan A. Marzuki, Bandung. : PT. Al-Ma’arif.

1998, hal. 10


13 www.wonosari.com (acces tanggal 9 mei 2009) pernikahan dini bukan sekedar alternative, oleh Iwan Rusliyanto, 9 juli 2007


14 Ibid.


15 Muhammad Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, 2002


16 www.wonosari.com (acces tanggal 9 mei 2009) pernikahan dini bukan sekedar alternative, oleh Iwan Rusliyanto, 9 juli 2007



17 Sebagai contoh : pengamatan yang dilakukan oleh Burhan Firmansyah, Buletin Nyampleng Edisi 01


18 Afriyati : perilaku seksual remaja santri di pesantren purba baru tapanuli selatan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, 2002


Selasa, 02 Juni 2009

TEORI HUKUM ISLAM MODERN

HUKUM ISLAM KONTEMPORER

Perkembangan yang dinamis dan kreatif (pembaharuan) setidak-tidaknya didorong oleh empat factor utama:

pertama adalah dorongan keagamaan, karena Islam merupakan sumber norma dan nilai normatif yang mengatur seluruh aspek kehidupan kaum muslimin, maka kebutuhan untuk membumikan norma dan nilai tersebut ataupun mengintegrasikan kehidupan kaum muslim kedalamnya selalu muncul ke permukaan demikian juga Hukum Islam. Kedua, dengan meluasnya domain politik Islam pada masa khalifah Umar terjadi pergeseran-pergeseran sosial yang pada gilirannya menimbulkan sejumlah besar problem baru sehubungan dengan hukum islam, Faktor Ketiga adalah independensi para spesialis hokum islam itu dari kekuasaan politik. Kemandirian ini telah menyebabkan mereka mampu mengembangkan pemikiran hukumnya tanpa mendapat rintangan, selaras dengan pemahaman masing- masing. Faktor keempat adalah pleksibelitas hokum islam itu sendiri yang memampukannya untuk berkembang mengatasi ruang dan waktu.

A. Dilema Fleksibilitas Hukum Islam dan Pembaharuan Pemikiran

Disamping sarat akan muatan sosiologis tak dapat dipungkiri

bahwa fiqh (Hukum Islam) juga memiliki dimensi teologis dan inilah yang

membedakan fiqh dengan hokum dalam terminologi ilmu hukum modern, akan tetapi penempatan cara pandang yang keliru terhadap dimensi teologis yang dikandungnya bisa mengakibatkan anggapan bahwa fiqh merupakan aturan yang sakral, bahkan dalam keadaan tertentu orang akan merasa takut untuk melakukan revaluasi terhadap aturan-aturan fiqh yang ada, karena secara psikologis sudah terbebani oleh nilai-nilai kesakralan tersebut, untuk itu perlu kajian yang mampu mengantarkan pada cara pandang yang benar mengenai aspek teologis dalam fiqih ini.

Dalam paradigma usul fiqh klasik menurut Hasbi As-Shiddiqiey

terdapat lima prinsip yang memungkinkan Hukum Islam bisa

berkembang mengikuti masa: 1) Prinsip Ijma’; 2) Prinsip Qiyas; 3) Prinsip Maslahah Mursalah; 4) Prinsip memelihara Urf’; dan 5) berubahnya hokum dengan berubahnya masa. Kelima prinsip ini dengan jelas memperlihatkan betapa pleksibelnya hukum Islam.

Dengan Berlalunya waktu, perkembangan Hukum Islam yang

dinamis dan kreatif pada masa awal kemudian menjelma kedalam bentuk mazhab-mazhab atas inisiatif beberapa ahli hokum terkenal, tetapi dengan terjadinya kristalisasi mazhab-mazhab tersebut, hak untuk berijtihad mulai dibatasi dan pada gilirannya dinyatakan tertutup.

Semacam konsensus gradual yang memapankan dirinya yang kurang lebih bermakna bahwa mulai saat itu tidak seorangpun yang boleh mengklaim bahwa ia memiliki kualifikasi untuk melaksanakan ijtihad mutlak dan bahwa seluruh aktifitas dimasa mendatang tinggal

menyesuaikan. Jadi secara teoritis, Ijtihad memang tidak dinyatakan tertutup tetapi kualifikasinya yang ditempa sedemikian teknis serta dengan diidealkannya capaian-capaian masa lampau telah mengakibatkan ijtihad berada di luar jangkauan manusia

Menjawab tantangan modernitas” adalah sebuah jargon yang tersirat dan disepakati dibalik beraneka ragamnya produk pemikiran muslim pada umumnya dan dibidang hokum pada khususnya pada dasawarsa terakhir setelah kaum muslimin teperangkap dalam kejumudan dan taqlid yang cukup lama pasca imam-imam mazhab.

Pada abad ke-20, semakin banyak upaya pembaharuan pemikiran hokum Islam baik yang dilakukan oleh sarjana-sarjana muslim maupun oleh sarjana-sarjana orientalis.

B. Pergeseran Paradigmatik Metodologi Hukum Islam

Dari sekian banyak pola pemikiran Islam yang bercorak pembaharuan tentu juga berimplikasi pada aspek hokum islam baik secara metodologis maupun wacana. Oleh karena itu metode pembaharuan hokum islam bukanlah sebuah metode yang terlepas dari pembaharuan pemikiran hal ini perlu pelacakan yang cermat karena tidak semua tokoh mempunyai perhatian yang khusus terhadap hokum Islam. Hal ini terlebih lagi jika di tarik ke dalam wilayah hokum keluarga muslim khususnya, sehingga dibutuhkan upaya penyesuaian bahkan modifikasi terhadap teori-teori pemikiran yang ditawarkan para tokoh yang berkaitan dengan hokum Islam. Mensitir kerangka teorinya Wael B. Hallaq dalam sejarah perkembanagan metode fiqh (ushul fiqh) Amin Abdullah menguraikan paradigma metodik usul fiqh kedalam pradigma fiqh literalistik, utilitarianistik dan liberalistik-penomenologik.

Dinamakan paradigma literalistic karena dominannya pembahasan tentang teks. Ar-Risalah karya As-yafii dianggap buku rintisan pertama tentang usul fiqh, penulisannya bercorak teologis deduktif yang kemudian diikuti oleh para ahli ushul mazhab mutakallimun (Syafiiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Mu’tazilah). Setelah lebih kurang lima abad (dari abad ke-2H-7H) baru mengalami perbaikan dengan munculnya asy-Syatibi (w.1388 M) yang menambahkan teori maqasyid syari’ah yang mengacu pada maksud Allah yang paling mendasar sebagai pembuat hokum.

Enam abad kemudian sumbangan asy-Syatibi direvitalisasikan oleh para pembaharu usul fiqh di dunia modern, seperti Muhammad Abduh (w. 1905), Rasyid Ridho (w.1935), Abdul Wahab Khallaf (w.1956), Allal al-Fasi (w.1973) dan Hasan Turabi. Karena tidak menawarkan teori baru kecuali merevitalisasi prinsip maslahah yang ditawarkan asy-Syatibi melalui teori maqashid-nya itu Weil B. Hallaq mengkategorikan para pembaharu di bidang ushul dalam kelompok ini sebagai para pembaharu penganut utilitarianisme.

Sementara itu pertanyaan tentang bagaimanakah teks suci dapat dipahami dan kemudian dijalankan dalam konteks dunia modern yang sudah barang tentu tidak lagi sama dengan konteks zaman nabi. Pernyataan semacam itu menurut sebagian pakar seperti Muhammad

Iqbal, Mahmud Muhammad Taha, Abdullah Ahmed An-Naim, Muhammad Said Ashmawi, Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrur. Sama sekali tidak dapat diselesaikan dengan berpijak pada prinsip maslahah klasik diatas. Mereka beranggapan prinsip maslahah tidak lagi memadai untuk

membuat hokum Islam tetap relevan di dunia modern. Weil B. Hallaq menamakan kelompok ini dengan aliran liberalisme keagamaan karena cenderung berdiri pada paradigma yang terlepas dari pada paradigma klasik.

lebih lanjut dia berkomentar kelompok ini lebih menjanjikan dan lebih persuasif. Kelompok ini dalam rangka membangun metodologinya yang ingin menghubungkan antara teks suci dan realitas modern lebih berpijak pada upaya melewati makna eksplisit teks untuk menangkap jiwa dan maksud luas dari teks. Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer, dalam Mazhab Jogja:

Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Ar-Ruz, 2002, hlm 118-123.

C. Metode Pembaharuan Hukum Islam Kontemporer (Telaah Pemikiran

Tokoh)

Banyak kritikan dan kajian yang menilai bahwa kontruksi bangunan Ushul Fiqh klasik sebagai sebuah metodologi istimbat hokum sudah tidak relevan lagi. Respon ini beragam baik dari yang hanya bersifat sebuah kritikan, tawaran alternatif sampai upaya rekontruksi dan dekontruksi terhadapnya. Berikut upaya pelacakan terhadap contoh-contoh metodologi yang ditawarkan beberapa tokoh yang terkait dengan kajian hokum Islam yang tentu saja selain mereka di bawah ini masih banyak lagi para tokoh yang juga melakukan upaya yang sama. Metode-metode ini dilacak melalui penelusuran terhadap tokoh yang di kategorikan Hallaq pada kelompok liberal.

. Fazlur Rahman

Fazlur Rahman (Rahman) dilahirkan pada tahun 1919 kemudian tumbuh dan berkembang dalam latar pendidikan tradisional sebagaimana lazimnya masyarakat muslim pada saat itu di Pakisatan. Rahman mempelajari ilmu-ilmu keislaman secara formal di madrasah. Setelah menamatkan pendidikan menengahnya dia melanjutkan studinya di departemen ketimuran Universitas Punjab. Pada tahun 1942 ia berhasil menyelesaikan pendidikan akademisnya di universitas tersebut dengan meraih gelar MA. dalam Sastra Arab. Sekalipun terdidik dalam lingkungan pendidikan Islam tradisional sikap kritis mengantarkan jati dirinya sebagai seorang pemikir yang berbeda dengan kebanyakan alumni madrasah. Sikap kritis yang menggambarkan ketidakpuasan terhadap sistem pendidikan tradisional terlihat dengan keputusannya melanjutkan studi ke barat, Oxford University, Inggris. Keputusannya tersebut merupakan awal sikap kontroversial Rahman.

10 Ghufran A. Mas.adi: Pemikiran Fazlur rahman tentang metodologi Pembaharuan Hukum Islam,

Rajawali Press, Jakarta, 1997.

11 Ibid

Berbicara tentang alur pemikiran Rahman ada dua istilah metodik

yang sering disebutkan dalam buku-bukunya yakni historico-critical

method (metode kritik sejarah) dan hermeunetic method (metode

hermeunetik). Kedua istilah tersebut merupakan kata kunci untuk menelusuri metode-metode dalam pemikirannya.11 Dalam memahami dan menafsirkan sumber utama Islam dalam hal ini Al Qur’an, Rahman menggunakan teori doble movement (gerak ganda).

Hubungan yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam alqur’an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah kemanusian yang profane disisi yang lain. Dua Unsur inilah yang menjadi tema sentral metode Rahman. Permasalahannya ada pada bagaiman cara mendialogkan antara dua sisi tersebut agar nilai-nilai kewahyuan bisa selalu sejalan dengan sejarah umat manusia. Gerak pertama pada teori Rahman menghendaki adanya memahami makna al-Quran dalam konteks kesejarahannya baik secara spesifik dimana kejadian itu berlangsung (mikro) maupun secara global bagaimana kondisi sekitar kejadian itu pada umumnya (makro). Dari sini bisa diambil pemahaman yang utuh tentang konteks normative dan historisnya suatu ayat maka timbullah istilah legal specific (praktis temporal) dan moral ide (normative universal).

Kemudian gerak Kedua yang dilaklukan adalah upaya untuk menerapkan prinsip dan nilai-nilai sistematik dan umum dalam konteks penafsiran pada era kontemporer yang tentunya mensyaratkan sebuah pemahaman yang kompleks terhadap suatu permasalahan. Disini terlihat keberanjakan Rahman dari metodologi ushul fiqh lama yang cenderung literalistik dan menurutnya perlunya penguasaan ilmu-ilmu bantu yang bersifat kealaman maupun humaniora agar para penafsir terhindar dari pemahaman yang salah. sangat jelas bahwa gagasan yang ditawarkannya bersifat paradigmatik yang berusaha menghindarkan pemahaman intelektual dari dogma dan batas batas dimensi cultural yang membelenggu.

Rahman telah menyadari kemungkinan bahaya subyektifitas penafsir, untuk menghindarkan atau setidaknya untuk meminimalkan bahaya subyektifitas tersebut rahman mengajukan sebuah metodologi tafsir yang terdiri dari tiga pendekatan: Pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks; kedua, pendekatan kontentual untuk untuk menemukan sasaran dan tujuan yang terkadang dalam ungkapan legal spesifik dan ketiga, pendekatan latar belakang sosiologis untuk menguatkan hasil temuan penedekatan kontentual atau untuk menemukan sasaran dan tujuan yang tidak dapat diungkapkan oleh pendekatan kontentualAmin Abdullah,

Paradigma Alternatif… hlm 134-135.

. Muhammad Syahrur

Muhammad Syahrur lahir di Damaskus, Syiria tahun 1938. Ia mulai menapaki jenjang pendidikan dasar dan menengah sebelum ia pergi ke Moskow untuk belajar ilmu tehnik (engineering) di Universitas hingga tahun 1964. Dua tahun kemudian 1968 ia melanjutkan pendidikan master dan doktornya dalam bidang mekanika tanah (soil mecanichs) dan tehnik bangunan (foundation engineering) pada Universitas College Dublin di Irlandia. Sepulang dari Irlandia ia memulai kiprah intelektualnya sebagai seorang professor tehnik di Universitas Damaskus, Syiria hingga sekarang. Sebelum masuk dalam jajaran selebritis intelektual muslim dunia berkat perhatiannya yang mendalam tentang pemikiran Islam yang dituangkan dalam karya monumentalnya al-Kitab wa al Qur’an: Qira’ah al-Muasirah13 Karya monumental Syahrur yang telah mencuatkan namanya tersebut merupakan hasil perjalanan panjang intelektualnya sekitar 20 tahun. Pembacaan ulangnya terhadap islam menghasilkn pemahaman dan kesan yang kuat tentang akurasi istilah-istilah yang digunakan dalam al-Kitab (al-Qur’an) dalam pembacaan ulangnya ini teori yang cukup terkenal yang ditawarkannya adalah teori batas (Nazariyyah al-Hudud).

Syahrur memandang adanya dua sifat pokok yang terdapat dalam al-Kitab yang mutlak harus dimengerti untuk memahami keistimewaan agama Islam, yakni hanifiyyah dan Istiqamah. Kedua sifat ini selalu bertentangan tetapi saling melengkapi. Berdasarkan sejumlah ayat Syahrur menyimpulkan bahwa makna hanafiyah adalah penyimpangan dari sebuah garis lurus, sedangkan istiqanmah artinya sifat atau kualitas dari garis lurus itu sendiri atau yang mengikutinya. Hanifiyah adalah sifat alam yang juga terdapat dalam sifat alamiah manusia.

13 .M. In.am Esha, Muhammad Syahrur: Teori Batas dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam

Kontemporer, Jendela, Yogyakarta 2003, hlm. 296.

Syahrur Berargumen dengan dalil fisikanya bahwa tidak ada benda yang gerakkannya dalam bentuk garis lurus. Seluruh benda sejak dari elektron yang paling kecil hingga galaksi yang terbesar bergerak secara hanifiyyah (tidak lurus). Oleh karena itu ketika manusia dapat mengusung sifat seperti ini maka ia akan dapat hidup harmonis dengan

alam semesta. Demikian halnya kandungan hanifiyyah dalam hokum

Islam yang cenderung selalu mengikuti kebutuhan sebagian anggota masyarakat dengan penyesuaian dengan tradisi masyarakat. Untuk mengontrol perubahan-perubahan ini maka adanya sebuah garis lurus istiqamah menjadi keharuasan untuk mempertahankan aturan-aturan hokum yang dalam konteks inilah teori batas diformulasikan. Garis lurus bukanlah sifat alam ia lebih merupakan karunia tuhan agar ada bersama-sama dengan hanifiyah untuk mengatur masyarakat.14

14 Secara umum, teori batas (Nazariyyah al-Hudud) barangkali dapat digambarkan bahwa terdapat ketentuan Tuhan yang diungkapkan dalam al-Kitab dan Sunnah yang mentapkan batas bawah yang merupakan batas minimal ayng dituntut oleh hokum dan batas atas merupakan batas maksimal bagi seluruh perbuatan manusia. Yang jika melanggar batas minimal dan maksimal tersebut dianggap perbuatan yang dilarang (haram) dengan kata lain manusia bisa melakukan gerak dinamis dalam batas-batas yang telah ditentukan. Amin Abdullah, Paradigma

Alternatif… hlm 134-135

Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur

menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas. Pertama, ketentuan hokum yang memiliki batas bawah. Ini terjadi dalam hal macam-macam perempuan yang tidak boleh dinikahi. Kedua, ketentuan hokum yang hanya memiliki batas atas. Ini terjadi pada tindak pidana pencurian. Ketiga, ketentuan hokum yang memiliki batas atas dan bawah. seperti hukum waris dan poligami. Keempat, ketentuan hokum yang mana batas bawah dan atas berada pada satu titik (garis lurus) tidak boleh lebih dan kurang. ini terjadi pada hukuman zina yaitu 100 kali jilid. Kelima, ketentuan yang memiliki batas atas dan bawah tetapi kedua batas tersebut tidak boleh disentuh. Karena dengan menyentuhnya berarti telah terjatuh pada larangan tuhan hal ini berlaku pada hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan Keenam, ketentuan hokum yang memiliki batas atas dan bawah dimana batas atasnya tidak boleh dilampaui dan batas bawahnya boleh dilampaui. Batas atas terjadi pada riba dan batas

bawah adalah pinjaman tanpa bunga (al-qard al-hasan). 15

15 Metodologi yang digunakan syahrur adalah filsafat dengan titik berat pada filsafat materialisme. Hal ini terlihat pada pandangannya bahwa sumber pengetahuan yang hakiki adalah alam materi diluar diri manusia. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hermeunetik dengan penekanan pada asfek filologi dan ini tercermin jelas pada seluruh bagian pembahasannya. Adapun kerangka teoritik yang menjadi acuan Syahrur dalam memformulasikan ide-idenya dalam ajaran islam membedakan antara yang berdimensi nubuwah yang merupakan kumpulan informasi kesejarahan yang dengan itu dapt dibedakan antara benar dan salah dalam relitas empirisnya dan risalah adalah kumpulan ajaran yang wajib dipatuhi oleh manusia yang berupa ibadah,

muamalah, akhlak dan hukum halal-haram. Ibid, hlm. 136-138.

16 Muhyar Fanani, Abdullah Ahmad An-Naim: Paradigma Baru Hukum Publik Islam, dalam Khudori

Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, Jendela, Yogyakarta 2003. Hlm. 3.

. Abdullah Ahmed an-Naim

Meskpiun penetrasi pembaharuannya lebih ditekankan pada ranah hukum publik Islam, namun tokoh yang satu ini juga menyerukan paradigma yang sama dalam hal perubahan. Abdullah Ahmad an-Naim (an-Naim) adalah seorang aktivis HAM yang dikenal di dunia internasional. Lahir di Sudan pada 1946 dan menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Khartoum tiga tahun kemudian pada tahun 1973 dia mendapat gelar sekaligus LL.B., LL.M, dan M.A dari University of Cambridge, Inggris. Pada tahun 1976 mendapat gelar Ph.D. dalam bidang hokum dari University Of Edinburg Skotlandia dengan disertasi tentang perbandingan prosedur pra percobaan criminal (hokum Inggris, Skotlandia, Amerika dan Sudan). An-Naim termasuk ilmuan yang memiliki komitmen yang kuat terhadap Islam sekaligus mempunyai dedikasi yang tinggi untuk menegakkan HAM. Selain sebagai ahli hokum an-Naim juga seorang yang ahli dalam bidang hubungan Internasioanal.16 An-Naim Menawarkan metodologi baru alternative dalam menguak pandangan Islam terhadap HAM. Perhatian utamanya adalah hokum

islam kaitannya dengan isu-isu internasional modern seperti HAM, konstitusionalisme modern, dan hokum pidana modern. Menurutnya hokum Islam saat ini membutuhkan reformasi total “Dekontruksi.”.

Metode pembaharuan hukum Islam Ahmad Na’im sebenarnya berangkat dari metodologi yang diintroduksi dari gurunya sendiri, Mahmoud Muhammad Thaha yakni teori evolusi yang memuat teori naskh (sebagaimana dikenal dalam ushul Fiqh) namun substansi dalam penerapannya akan berbeda. Dalam pandangan Thaha, teori Naskh lama yang menganggap bahwa ayat-ayat (juga hadis) Madaniyah menghapus ayat (juga hadis) makiyah, harus dibalik, yakni ayat makiyah lah yang justru menghapus ayat madaniyyah. Keyakinan Thaha bahwa abad modern ini ayat-ayat makiyah justru menasakh ayat-ayat madaniyah karena ayat-ayat makiyah bersifat lebih universal dan abadi karena menganjurkan kebebasan, persamaan derajat tidak mendiskriminasi jender maupun agama dan kepercayaan.

Dari kerangka berpikir sang guru inilah An-Naim memformulasikan buah pikirannya terhadap isu-isu global yang jadi perhatiannya. Menurut An-Naim pilihan Thaha terhadap abad ke-20 sebagai abad yang tepat untuk pemberlakuan kembali ayat-ayat Makiyah memang subjektif meski dikemukakan secara rasional. Namun, bagaimanapun menurut An-Naim kita tidak memiliki alternative ide yang lain untuk menggantikan pemikiran taha itu dengan kata lain, metodologi Thaha merupakan keniscayaan. Umat Islam dihadapkan kepada dua pilihan yan tidak relevan khususnya dalam bidang hokum public. pertama, tetap menggunakan piranti hokum klasik dengan berbagai macam kekurangan dan kerancuan terminologisnya dan yang kedua, menggunakan hokum barat yang disebarkan melalui kolonialismeyang mau tidak mau harus diterima karena tidak ada alternatif yang memadai. 17 Meskipun Piranti metodologis An-Naim lebih diproyeksikan pada bidang hokum publik namun secara paradigmatik bisa saja diterapkan dalam bidang hokum privat pada umumnya dan hokum keluarga pada khususnya karena kegelisahan hokum islam pada umumnya adalah sama yaitu bagaimana keberadaannya tetap relevan dalam perkembangan zaman.

17 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, HAM dan, Hubungan

Internasional, Penerjemah: Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Rany., LKiS, Yogyakarta, 1990.

D. Metode Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim (Utilitarianisme atau

Liberalisme?)

Apa yang membedakan kelompok utilitarian dengan kelompok liberalis dan bagaimana konkuensi logisnya terhadap produk hokum ? bisa ditinjau dari persepsi-persepsi tentang sifat hokum islam berikut; Ada lima sifat hukum islam yang melekat pada dirinya sebagai sifat asli yang otomatis jika diakitkan dengan hokum keluarga dan kewarisan juga pasti akan terlihat.

1. Bidimensional. Artinya hokum Islam mencakup dua macam hubungan dalam makna vertikal (ibadah) dan horizontal (kemasyarakatan/muamalah) Dalam pandangan Islam eksistensi manusia tidak berdiri sendiri melainkan berkait erat dengan dimensi ketuhanan.

2. Adil. Sifat adil yang berkaitan erat dengan prisip keadilan dan persamaan hak antara siapapun. Dalam hokum keluarga Islam, suami dan istri memiliki kedudukan yang sama, karena itu tidak dibenarkan dominasi suami terhadap istri, atau sebaliknya. Dalam hukum kewarisan Islam baik pria maupun wanita, anak-anak dan dewasa, dapat menjadi ahli waris. Hukum Islam telah mengangkat kembali derajat kaum wanita yang sebelumnya tidak mungkin menjadi ahli waris, karena alasan-alasan irasional.

3. Individu dan Kemasyarakatan. Yang dilihat dari sudut hokum keluarga dan kewarisan Islam memberikan posisi kepada manusia baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok keluarga yang membentuk suatu masyaraklat.

4. Konfrehensif. Hukum keluarga dan kewarisan islam adalah dua sub system hukum yang merupkan bagian dari hokum Islam yang komprehnesif. Orang yang ingin menjadi ahli dalam hokum islam tidak mungkin mengabaikan hukum keluarga dan hokum dan kewarisan Islam, yang boleh dikatakan sebagai “central core” dalam hokum islam itu kedua macam sub sistem hukum islam itu secara langsung mengatur hak-hak insividu agar

terwujud suatu kehidupan masyarakat yang mapan sejahtera dan tentram.

5. Dinamis. Meskipun usianya sudah lebih dari empat belas abad namun baik hokum keluarga maupun kewarisan islam tetap dinamis dalam makna pengembangan pemikiran melalui ijtihad terhadap berbagai macam permasalahan atau kasus dalam kedua macam sub system hokum islam tersebut.18

18 H.M. Tahir Azhary, Hukum Keluarga dan Kewarisan Islam Dalam Masyrakat Modern Indonesia,

Mimbar Hukum No. 10, 1993, hlm. 25.

Dari persepsi tentang sifat hokum Islam diatas dapat dilihat perbedaan yang mendasar secara epistemologi antara dua corak ushul fiqh yang mewarnai dunia muslim kontemporer (utilitarianisme dan liberalisme) melalui teropong metodologi kedua varian tersebut pada poin pertama menurut utilitarianis, Tuhan sebagai sentral peradaban manusia (teocentris) manusia sepenuhnya tunduk terhadap nas-nas agama Dan menurut liberalis manusia sebagai central peradaban manusia yang dibungkus dengan dimensi ketuhanan (Antropocentris) sehingga dari pemahaman yang berbeda ini akan meruncing pada sisi sakralitas al-

Qur’an.

Pada poin ke-2 sampai poin ke-4, titik tekannya adalah persepsi yang berbeda terhadap pemaknaan Al-Qur’an. kelompok utilitarian Menganggap Al-Qur’an sebagai Kalamullah yang mutlak secara lafzan wa ma’nan sedangkan menurut liberalis Al Qur’an mutlak secara ma’nan saja tidak secara lafzan karena dalam proses turunnya Al-Qur’an berinteraksi dengan budaya manusia tanpa mengurangi nilai kesucian yang ada didalam Al-Qur’an itu sendiri tentunya. kelompok utilitarianis cenderung tidak punya keberanian untuk mengeksplorasi teks-teks yang dianggap suci sedangkan kelompok liberalis sebaliknya. Pada poin ke-5 Kedinamisan hokum islam yang dilakukan kelompok utilitarian berangkat bulat dari paradigma dan metodologi lama yang dianggap telah mapan walaupun banyak kekurangan sehingga menurut kelompok liberal produk hokum yang seperti ini terasa kering dan cenderung ditinggalkan masyarakat modern yang sekarang ini tanpa alasan teologis mengingkarinya tapi secara alamiah meninggalkannya sehingga dibutuhkan perangkat metodologi baru yang dapat mengaktualisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Hukum Islam yang

universal dan hakiki.19

19 Dari perbedaan konsepsi mendasar dari kedua kelompok ini khususnya pada tataran epistemologi paradigmatik sepertinya kebutuhan masyrakat muslim kontemporer dan arus perkembangan zaman lebih bisa menerima paradigma yang cenderung liberal, meskipun kebutuhan ini masih banyak mendapat tantangan dari kelompok utilitarianistik yang masih meyakini epistemologinya masih bisa bersaing di tengah tuntutan perubahan.

E. Aplikasi Metode Pembaharuan dalam Hukum Keluarga Kontemporer

Untuk memperjelas uraian diatas maka berikut akan diuraikan

sedikit contoh aplikasi metode pembaharuan hukum khususnya hukum

keluarga muslim kontemporer. Contoh-contoh berikut diambil dari ijtihad-ijtihad para tokoh diatas dalam mengaplikasikan metode yang mereka gagas sendiri khususnya teori gerak gandanya Rahman dan teori

batasnya Shahrur.

. Teori gerak ganda

Contoh sederhana dari teori gerak gandanya Rahman dalam hal hak istri untuk bercerai dalam keadaan tertentu (khulu’) dalam analisisnya terhadapa ayat yang digunakan mayoritas ulama dalam peniadaan hak wanita ini adalah ayat al-Qur’an IV :3 dan II :28, yang menerangkan superioritas lelaki atas wanita. Pada gerak pertamanya Rahman mencoba mengangkat aspek historis ayat dengan latar belakang sosial budaya yang berlaku tentang

status wanita pada waktu turunnya ayat. Menurutnya masyarakat Arab ketika itu didominasi oleh kaum lelaki dan posisi kaum wanita sangat lah rendah sehingga wajar saja ketika bunyi teks al-Qur’an menyesuaikan dengan kondisi zaman dan konteks turunnya ayat dan hal ini dirasakan sangat bersifat temporal. Dengan mengambil nilai yang lebih universal dari gerak pertamanya yaitu tentang persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan Rahman beranjak ke gerakan kedua, Menurut Rahman, adalah sangat pelik untuk mempertahankan keadaan berdasarkan ayat-ayat tersebut bahwa masyarakat harus tetap seperti masyrakat Arrab abad ke-7 M, atau masyrakat abad pertengahan pada umumnya, dia berpandangan bahwa anggapan mayoritas ulama tentang monopoli kaum laki-laki atas hak cerai sama sekali tidak dicuatkan dari al-Qur’an dan bahwa ketentuan mengenai hak cerai kaum wanita adalah

positif.20

20 Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman,

Cet III, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 90.

Contoh kedua yaitu tentang kedudukan cucu selaku pengganti orangtuanya dalam menerima warisan dari kakeknya. Konsep hukum waris klasik samasekali tidak memeberi bagian kepada cucu yatim yang ditinggal wafat oleh kakeknya karena terhalang pamannya. Gerakan pertama Rahman dalam hal ini dengan pendekatan historisnya mengemukakan bahwa prinsip waris semacam itu besarkemungkinannya berasal dari praktek suku-suku Arab pada masa pra Islam. Dalam masyarakat kesukuan, tetua-tetua suku, atau suku itu secara keseluruhan, berkewajiban mengurus kepentingan anggota-anggota suku yang tidak mampu. Pada sistem patriarkal abad pertengahan, paman-paman berkewajiban mengurus keponakannya yang ditinggal wafat oleh ayahnya, sehingga anak yatim itu tidak memperoleh bagian warisan dari kakeknya.

Setelah mendapatkan nilai Normatif universal dan temporalnya koteks ketentuan ayat diatas gerak kedua Rahman adalah mengkontekstualkannya pada zaman kekinian. Pada zaman modern ini situasi telah jauh berbeda dan semakin akut, karena paman-paman semakin tidak menyukai tanggung jawabnya untuk mengurus keponakannya yang yatim dan terhalang oleh mereka dalam menerima waris. Berdasarkan pertimbangan ini Rahman berpendapat bahwa jika seorang kakek wafat dan hanya meninggalkan seorang anak lelaki serta seorang cucu dari anak lelaki lainnya yang telah wafat maka ia memeperoleh bagian warisan yang sama dengan pamannya karena ia menempati kedudukan ayahnya saat menerima waris.21

21 Ibid, h. 90-91.

. Teori batas

Beralih pada contoh aplikasi teori batasnya Shahrur dalam bidang hukum keluarga dalam hal ini hukum kewarisan. Contoh terbaik dalam hal ini adalah firman Allah: li Adh-dhakari mithlu hazzi al-unthayayni. Kebanyakan para ahli fiqih menganggap bahwa firman ini adalah batasan yang telah ditentukan dan tidak boleh keluar darinya dalam seluruh kasus yang dialami anak-anak. Konsep ini memukul rata semua kasus dan berpijak pada konsep yang lahir dari pemahaman ayat diatas “satu bagi anak laki-laki dan setengah bagi anak perempuan” Sedangkan menurut Shahrur batasan tersebut adalah batasan khusus yang hanya bisa diterapkan dalam kasus ketika jumlah perempuan dua kali lipat jumlah laki-laki.

Mengenai kewarisan anak ini lebih jauh Shahrur merumuskan teori batasnya berangkat dari ayat al-Qur’an Surah an-nisa ayat 11 kemudian Shahrur memberikan rumusan batas dimana setiap konteks hubungan antara anak laki-laki dan perempuan bisa saja berubah sesuai dengan jumlah perbandingan anak, dan tidak melulu terpaku pada konsep “satu bagi anak laki-laki dan setengah bagi anak perempuan” sebagaimana yang digeneralkan mayoritas ulama fiqh. Adapun formulasi teori batasnya adalah sebagai berikut:

Batas pertama: li Adh-dhakari mithlu hazzi al-unthayayni (laki-

laki=1: Perempuan=1/2).

Ini adalah batasan hukum yang membatasi jatah-jatah atau bagian-bagiana (huzuz) bagi anak-anak si mayit jika mereka terdiri dari seorang laki-laki dan dua anak perempuan. Pada saat yang bersamaan ini merupakan kriteria yang bisa diterapkan pada semua kasus dimana jumlah perempuan dua kali lipat jumlah laki-laki.

Batas kedua: fa ini kunna nisa’an fawqa ithnatayni (Lk=1/3: Pr= 2/3).

Batas hukum ini membatasi seorang laki-laki dan tiga perempuan dan selebihnya (lebih dari dua). Satu orang laki-laki+perempuan lebih dari dua, maka bagi laki-laki adalah 1/3 dan bagi pihak perempuan adalah 2/3 berapapun jumlah mereka (diatas dua). Batasan ini berlaku pada seluruh kondisi ketika jumlah perempuan lebih dari dua kali jumlah laki-laki. Batas ketiga: wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu (lk=1: Pr=1). Batas hukum ketiga ini membatasi jatah warisan anak-anak dalam kondisi ketika jumlah pihak laki-laki sama dengan jumlah pihak perempuan, jadi masing masing anak mendapatkan separuh dari harta peninggalan. Menurut Shahrur Jika diperhatikan pihak laki-laki pada batas kedua yang termasuk dalam kategori rumus ini tidak mengambil bagiannya berdasarkan ketentuan batas yang pertama. Pada dasaranya pembagian ini sangat alami, karena hukum batasan pertama hanya dapat diberlakukan pada kasus yang telah ditetapkan Allah dan tidak dapat

diterapkan pada kasus lainnya. 22

22 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Penerjemah: Shahiron Syamsuddin)

eLSAQ Press, Yogyakarta, 2004, hlm 360-361.

F. Penutup

Demikianlah uraian singkat tentang metode-metode pembaharuan hokum dan hokum keluarga Islam dalam pemikiran Islam kontemporer meskipun nuansa perubahan memang cukup terasa namun keberanjakan paradigma hokum dari metodologi hokum klasik ke sebuah metodologi baru secara aplikatif memang masih jarang ditemui. Karena menurut para ahli hokum yang masih menggunakan paradigma klasik metode-metode baru yang ditawarkantidak menawarkan sebuah solusi yang tuntas selain itu masih kuatnya kungkungan dogmatis yang mengitari mengakibatkan sikap apatis ini semakin kuat dan kebanyakan Negara Islam maupun Negara non Islam yang memakai hokum islam dan hokum keluarga khususnya kebanyakan masih bercorak utilitarianistik.

Namun geliat pembaharuan yang dilakukan oleh para pemikir diatas sedikit banyak membangkitkankan gairah baru dalam bidang kajian hukum keluarga secara khusus dan pemikiran Islam secara umum dan sekaligus menjadi sebuah titik tolak harapan perubahan pada saat umat Islam terpuruk ditengah derasnya arus perubahan.

Daftar pustaka

. Abdullah Ahmed An-Naim, Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, HAM dan, Hubungan Internasional, Penerjemah: Ahmad Suaedy dan Amiruddin ar-Rany., LKiS, Yogyakarta. 1990.

. Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer, dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Ar-Ruz, 2002.

. Ghufran A. Mas.adi: Pemikiran Fazlur rahman tentang metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Rajawali Press, 1997.

. Hilman Latief, Nasr hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, Elsaq Press, 2003 Yogyakarta

. Khudori Sholeh (Ed), Pemikiran Islam Kontemporer, Jendela, Yogyakarta, 2003.

. M. In.am Esha, M. Syahrur: Teori Batas dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, Jendela, Yogyakarta 2003.

. Muhyar Fanani, Abdullah Ahmad An-Naim: Paradigma Baru Hukum Publik Islam, dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, Jendela, Yogyakarta 2003.

. M. Hanif A, Nasr Hamid Abu Zayd dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer, Jendela, Yogyakarta 2003.

. Noor Ahmad dkk, Epistemologi Syara’: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia.

. Syamsul Anwar, Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam, dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh kontemporer, Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2002.

. Tahir Azhary, Hukum Keluarga dan kewarisan Islam Dalam Masyrakat Modern Indonesia, Mimbar Hukum No. 10, 1993.

. Taupik Adnan Amal, Islam dan Tantangan modernitas, studi atas pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung 1989.

. Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Penerjemah: Shahiron Syamsuddin) eLSAQ Press, Yogyakarta, 2004.

. Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni, (terjemahan), Rajawali Pers, Jakarta, 2000.